Bid'ah dan Macamnya
Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya
Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari, istilah "bid’ah" ini disandingkan
dengan istilah "sunnah". Seperti dikutip Hadratusy Syeikh, menurut
Syaikh Zaruq dalam kitab ‘Uddatul Murid, kata bid’ah secara syara’
adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip dengan
bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal
maupun hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah Sholollohu'alaihi wasalam;” Barangsiapa
memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama) yang tidak
merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut tertolak”. Nabi juga bersabda,”Setiap perkara baru adalah bid’ah”.
Menurut
para ulama’, kedua hadits ini tidak berarti bahwa semua perkara yang
baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena mungkin saja ada
perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan ruh syari’ah
atau salah satu cabangnya (furu’).
Bid’ah dalam arti lainnya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada sebelumnya, sebagaimana firman Allah S.W.T.:
بَدِيْعُ السَّموتِ وَاْلاَرْضِ
Allah yang menciptakan langit dan bumi”. Al-Baqarah 2: 11.
Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Timbul suatu pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. pasti jeleknya?!
Jawaban yang benar, belum tentu! Ada dua kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik. Kapan bid’ah itu baik dan kapan bid’ah itu jelek?
Menurut Imam Syafi’i, sebagai berikut;
اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ
“Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai
dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan
sunnah itulah yang tercela”.
Sayyidina Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan shalat Tarawih berjama’ah dengan dua puluh raka’at yang diimami oleh sahabat Ubai bin Ka’ab beliau berkata :
نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هذِهِ
“Sebagus bid’ah itu ialah ini”.
Bolehkah kita mengadakan Bid’ah? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita kembali kepada hadits Nabi SAW. yang menjelaskan adanya Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah.
مَنْ
سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ
عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا
وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ
وِزْرُهَاوَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا. القائى, ج: 5ص: 76.
“Barang
siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka ia akan
mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak
mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang
mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan
dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa
mereka sedikit pun”.
Apakah yang dimaksud dengan segala bid’ah itu sesat dan segala kesesatan itu masuk neraka?
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”.
Mari kita pahami menurut Ilmu Balaghah.
Setiap benda pasti mempunyai sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, sifat itu bisa bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan duduk.
Mari kita kembali kepada hadits.
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka”.
Bid’ah
itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak
mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat
jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits
di atas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan, حدف الصفة على الموصوف
“membuang sifat dari benda yang bersifat”. Seandainya kita tulis sifat
bid’ah maka terjadi dua kemungkinan: Kemungkinan pertama :
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.
Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil. Maka yang bisa dipastikan kemungkinan yang kedua :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر
“Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”.
Jelek dan sesat paralel tidak
bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah
membuang sifat kapal dalam firman-Nya :
وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا (الكهف: 79)
“Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (Al-Kahfi : 79).
Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak
menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena yang jelek tidak akan
diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan
كل بد ع tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة .
Selain itu, ada pendapat lain tentang
bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti dikutip Hadratusy Syaikh Hasyim
Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan, apakah perkara
baru dalam urusan agama itu disebut bid’ah atau tidak: Pertama, jika
perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari’at dan sumbernya,
maka perkara tersebut bukan merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak
didukung sama sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut batil dan
sesat.
Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang
digunakan para imam dan generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran
sunnah. Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para
ulama, maka dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama masih
berselisih pendapat mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan
mana yang furu’ (cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan
dalil yang mendukungnya.
Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan
timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara’ ada enam, yakni
wajib, sunah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang
termasuk dalam salah satu hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan
status hukum tersebut. Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa
dianggap bid’ah.
Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga
macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah
yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’i, seperti wajib, sunnah,
makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan
tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah
paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum
asal ataupun furu’, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah
idlafiyah (relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik
tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah
tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut
digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah.
Ketiga, bid’ah khilafi (bid’ah yang
diperselisihkan), yaitu bid’ah yang memiliki dua sandaran utama yang
sama-sama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran utama
tersebut, bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan
bid’ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama itu termasuk
bid’ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti soal dzikir
berjama’ah atau soal administrasi.
Hukum bid’ah menurut Ibnu Abd Salam,
seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam kitab Risalah Ahlussunnah
Waljama’ah, ada lima macam: pertama, bid’ah yang hukumnya wajib, yakni
melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW,
misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing (garib)
yang bisa membantu pada pemahaman syari’ah.
Kedua, bid’ah yang hukumnya haram,
seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah dan Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang
hukumnya sunnah, seperti membangun pemondokan, madrasah (sekolah), dan
semua hal baik yang tidak pernah ada pada periode awal. Keempat, bid’ah
yang hukumnya makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau
menyobek-nyobek mushaf. Kelima, bid’ah yang hukumnya mubah, seperti
berjabat tangan seusai shalat Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat
makan dan minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang
longgar, dan hal yang serupa.
Dengan penjelasan bid’ah seperti di
atas, Hadratusy Syeikh kemudian menyatakan, bahwa memakai tasbih,
melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada
sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua
bukanlah bid’ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di
pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang
tidak baik.
--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga
Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja)
Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar