Kamis, 20 Juni 2013

KEMBALI KE QURAN SUNAH BAGAIMANA BISA TERSESAT ?!!!

Kaum Salafi Wahabi sangat terkenal memiliki yel-yel: “Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”. Mereka mengajak umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Kita muslimin semua tahu kenapa demikian?!
Karena, sebagai muslim sangat meyakini 100% tentunya bahwa al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang utama yang diwariskan oleh Rasulullah Saw, sehingga siapa saja yang menjadikan keduanya sebagai pedoman, maka ia telah berpegang kepada ajaran Islam yang murni dan berarti ia selamat dari kesesatan. Bukankah Rasulullah Saw. menyuruh yang sedemikian itu kepada umatnya?

Sampai di sini, anda yang merasa terpelajar mungkin bertanya-tanya dalam hati, “Bagaimana Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahab yang menyerukan ‘kebenaran yang edeal’ berdasar al Qur’an dan al Sunnah masih dianggap sesat oleh para ulama di zamannya? Mengapa pula paham Salafi Wahabi di zaman sekarang yang merujuk semua ajarannya kepada al-Qur’an dan Sunnah juga dianggap menyimpang bahkan divonis sesat oleh para Ulama? Boleh jadi anda marah dalam hati: “Hanya ‘orang gelo’ saja berani menyatakan sesat kepada mereka!”
Sabar dulu, mari kita perhatikan permasalahan ini secara komprehensif, agar terlihat “sumber masalah” yang ada pada sikap yang bagi anda terlihat sangat bagus dan ideal tersebut.


1. Prinsip “Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” adalah benar secara teoritis, dan sangat ideal bagi setiap orang yang mengaku beragama Islam. Tetapi yang harus diperhatikan adalah, apa yang benar secara teoritis belum tentu benar secara praktis, menimbang kapasitas dan kapabilitas (kemampuan) tiap orang dalam memahami al-Qur’an & Sunnah sangat berbeda-beda. Maka bisa dipastikan, kesimpulan pemahaman terhadap al-Qur’an atau Sunnah yang dihasilkan oleh seorang ‘alim yang menguasai Bahasa Arab dan segala ilmu yang menyangkut perangkat penafsiran atau ijtihad, akan jauh berbeda dengan kesimpulan pemahaman yang dihasilkan oleh orang awam yang mengandalkan buku-buku “terjemah” al-Qur’an atau Sunnah.

Itulah kenapa di zaman ini banyak sekali bermunculan aliran sesat. Jawabnya tentu karena masing-masing mereka berusaha kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah,  dan mereka berupaya mengkajinya dengan kemampuan dan kapasitasnya sendiri. Bisa dibayangkan dan telah terbukti hasilnya, kesesatan yang dihasilkan oleh Yusman Roy (mantan petinju yang merintis sholat dengan bacaan yang diterjemah), Ahmad Mushadeq (mantan pengurus PBSI yang pernah mengaku nabi), Lia Eden (mantan perangkai bunga kering yang mengaku mendapat wahyu dari Jibril), Agus Imam Sholihin (orang awam yang mengaku tuhan), dan banyak lagi yang lainnya. Dan kesesatan mereka itu lahir dari sebab “Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah”, mereka merasa benar dengan caranya sendiri. Pada kaum Salafi & Wahabi, kesalahpahaman terhadap al-Qur’an dan Sunnah itu pun banyak terjadi, bahkan di kalangan mereka sendiri pun terjadi perbedaan pemahaman terhadap dalil. Dan yang terbesar adalah kesalahpahaman mereka terhadap dalil-dalil tentang bid’ah.


2. Al-Qur’an dan Sunnah sudah dibahas dan dikaji oleh para ulama terdahulu yang memiliki keahlian yang sangat mumpuni untuk melakukan hal itu, sebut saja: Ulama mazhab yang empat, para mufassiriin (ulama tafsir), muhadditsiin (ulama hadis), fuqahaa’ (ulama fiqih), ulama aqidah ahus-sunnah wal-Jama’ah, dan mutashawwifiin (ulama tasawuf/akhlaq). Hasilnya, telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam rangka menjelaskan kandungan al-Qur’an dan Sunnah secara gamblang dan terperinci, sebagai wujud kasih sayang mereka terhadap umat yang hidup dikemudian hari. Karya-karya besar itu merupakan pemahaman para ulama yang disebut di dalam al-Qur’an sebagai “ahludz-dzikr”, yang kemudian disampaikan kepada umat Islam secara turun-temurun dari generasi ke generasi secara berantai sampai saat ini.

Adalah sebuah keteledoran besar jika upaya orang belakangan dalam memahami Islam dengan cara “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” dilakukan tanpa merujuk pemahaman para ulama tersebut. Itulah yang dibudayakan oleh sebagian kaum Salafi Wahabi. Dan yang menjadi pangkal penyimpangan paham Salafi Wahabi sesungguhnya, adalah karena mereka memutus mata rantai amanah keilmuan mayoritas ulama dengan membatasi keabsahan sumber rujukan agama hanya sampai pada ulama salaf (yang hidup sampai abad ke-3 Hijriah), hal ini seperti yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (hidup di abad ke-8 H.) dan para pengikutnya. Bayangkan, berapa banyak ulama yang dicampakkan dan berapa banyak kitab-kitab yang dianggap sampah yang ada di antara abad ke-3 hingga abad ke-8 hijriyah.

Lebih parahnya lagi, dengan rantai yang terputus jauh, Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi Wahabi pengikutnya seolah memproklamirkan diri sebagai pembawa ajaran ulama salaf yang murni, padahal yang mereka sampaikan hanyalah pemahaman mereka sendiri setelah merujuk langsung pendapat-pendapat ulama salaf. Bukankah yang lebih mengerti tentang pendapat ulama salaf adalah murid-murid mereka? Dan bukankah para murid ulama salaf itu kemudian menyampaikannya kepada murid-murid mereka lagi, dan hal itu terus berlanjut secara turun temurun dari generasi ke generasi baik lisan maupun tulisan? Bijaksanakah Ibnu Taimiyah dan pengikutnya ketika pemahaman agama dari ulama salaf yang sudah terpelihara dari abad ke abad itu tiba di hadapan mereka di abad mana mereka hidup, lalu mereka campakkan sebagai tanda tidak percaya, dan mereka lebih memilih untuk memahaminya langsung dari para ulama salaf tersebut? Sungguh, ini bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga keteledoran besar, bila tidak ingin disebut kebodohan. Jadi kaum Salafi Wahabi bukan Cuma menggaungkan motto “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” secara langsung, tetapi juga “kembali kepada pendapat para ulama salaf” secara langsung dengan cara dan pemahaman sendiri. Mereka bagaikan orang yang ingin menghitung buah di atas pohon yang rindang tanpa memanjat, dan bagaikan orang yang mengamati matahari atau bulan dari bayangannya di permukaan air.


3. Para ulama telah menghidangkan penjelasan tentang al-Qur’an dan Sunnah di dalam kitab-kitab mereka kepada umat sebagai sebuah “hasil jadi”. Para ulama itu bukan saja telah memberi kemudahan kepada umat untuk dapat memahami agama dengan baik tanpa proses pengkajian atau penelitan yang rumit, tetapi juga telah menyediakan jalan keselamatan bagi umat agar terhindar dari pemahaman yang keliru terhadap al-Qur’an dan Sunnah yang sangat mungkin terjadi jika mereka lakukan pengkajian tanpa bekal yang mumpuni seperti yang dimiliki para ulama tersebut. Boleh dibilang, kemampuan yang dimiliki para ulama itu tak mungkin lagi bisa dicapai oleh orang setelahnya, terlebih di zaman ini, menimbang masa hidup mereka yang masih dekat dengan masa hidup Rasulullah Saw & para Shahabat yang tidak mungkin terulang, belum lagi keunggulan hafalan, penguasaan berbagai bidang ilmu, lingkungan yang shaleh, wara’ (kehati-hatian), keikhlasan, keberkahan, dan lain sebagainya.

Pendek kata, para ulama seakan-akan telah menghidangkan “makanan siap saji” yang siap disantap oleh umat tanpa repot-repot meracik atau memasaknya terlebih dahulu, sebab para ulama tahu bahwa kemampuan meracik atau memasak itu tidak dimiliki setiap orang. Saat kaum Salafi & Wahabi mengajak umat untuk tidak menikmati hidangan para ulama, dan mengalihkan mereka untuk langsung merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah dengan dalih pemurnian agama dari pencemaran “pendapat” manusia (ulama) yang tidak memiliki otoritas untuk menetapkan syari’at, berarti sama saja dengan menyuruh orang lapar untuk membuang hidangan yang siap disantapnya, lalu menyuruhnya menanam padi.

KEMBALI KE AL-QURAN & SUNAH ?

Golongan Salafi-Wahabi memiliki motto ‘Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah’ Mereka mengajak umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah.
Kenapa? Karena, tentunya, al-Qur’an dan Sunnah merupakan sumber ajaran Islam yang utama yang diwariskan oleh Rasulullah SAW, sehingga siapa saja yang menjadikan keduanya sebagai pedoman, maka ia telah berpegang kepada ajaran Islam yang murni dan berarti ia selamat dari kesesatan. Bukankah Rasulullah SAW menyuruh yang sedemikian itu kepada umatnya ?

Secara global, motto ‘Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah’ ini jelas tidak akan ditentang oleh siapapun, bahkan semua umat harus mengikutinya agar selamat.
Namun mungkin banyak orang bertanya, mengapa Ibnu Taimiyah & Muhammad bin Abdul Wahab yang menyerukan hal se-bagus dan se-ideal itu dianggap sesat oleh para ulama di zamannya ?
Mengapa pula paham Salafi-Wahabi yang merujuk semua ajarannya kepada al-Qur’an dan Sunnah dianggap menyimpang bahkan divonis sesat ? Dan apakah para ulama terdahulu di zamannya selain kedua ulama ini seolah tidak mengajak kepada hal yang sama ?

Mari kita perhatikan permasalahan ini satu demi satu, agar terlihat jelas ‘sumber masalah’ yang ada pada sikap yang terlihat sangat ideal tersebut. Mari kita cermati dengan hati yang lapang dan objektif agar kita tidak terjerumus dalam pola pikir satu arah yang hanya mau melihat dan mendengar hanya karena kita sudah terlanjur ‘taqlid’ pada satu sumber informasi saja, hingga akhirnya dengan angkuhnya kita membenarkan tanpa ada ‘perbandingan’ sedikitpun. Karena dengan jalan ini, insyaAllah kita mendapatkan jawaban kebenaran yang sesungguhnya, bukan ‘pembenaran’ yang menuruti hawa nafsu semata.

1

Prinsip “Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” adalah benar secara teoritis, dan sangat ideal bagi setiap orang yang mengaku beragama Islam. Tetapi yang harus diperhatikan adalah, apa yang benar secara teoritis belum tentu benar secara praktis, menimbang kapasitas dan kapabilitas (kemampuan) tiap orang dalam memahami al-Qur’an & Sunnah sangat berbeda-beda. Maka bisa dipastikan, kesimpulan pemahaman terhadap al-Qur’an atau Sunnah yang dihasilkan oleh seorang ‘alim yang menguasai Bahasa Arab dan segala ilmu yang menyangkut perangkat penafsiran atau ijtihad, akan jauh berbeda dengan kesimpulan pemahaman yang dihasilkan oleh orang awam yang mengandalkan buku-buku ‘terjemah’ al-Qur’an atau Sunnah. Itulah kenapa di zaman ini banyak sekali bermunculan aliran sesat !
Mengapa? Tentu karena masing-masing mereka berusaha kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah,  dan mereka berupaya mengkajinya dengan kemampuan dan kapasitasnya sendiri masing-masing. Bisa dibayangkan dan telah terbukti hasilnya, kesesatan yang dihasilkan oleh Yusman Roy (mantan petinju yang merintis sholat dengan bacaan yang diterjemah), Ahmad Mushadeq (mantan pengurus PBSI yang pernah mengaku nabi), Lia Eden (mantan perangkai bunga kering yang mengaku mendapat wahyu dari Jibril), Agus Imam Sholihin (orang awam yang mengaku tuhan), dan banyak lagi yang lainnya. Dan kesesatan mereka itu lahir dari sebab ‘Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah’, mereka merasa benar dengan caranya sendiri atau mengikuti seseorang yang memiliki konsep dengan jalan pikirannya sendiri tanpa kesepakatan ulama terbanyak.
Pada kaum Salafi-Wahabi, kesalahpahaman terhadap al-Qur’an dan Sunnah itu pun banyak terjadi, bahkan di kalangan mereka sendiri secara internal pun terjadi perbedaan pemahaman terhadap dalil sehingga mereka akhirnya terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok yang saling menyesatkan. Dan yang terbesar adalah kesalahpahaman mereka terhadap dalil-dalil tentang bid’ah.


2

Al-Qur’an dan Sunnah sudah dibahas dan dikaji oleh para ulama terdahulu yang memiliki keahlian yang sangat mumpuni untuk melakukan hal itu, sebut saja: Ulama mazhab yang empat, para mufassiriin (ulama tafsir), muhadditsiin (ulama hadis), fuqahaa’ (ulama fiqih), ulama aqidah ahus-sunnah wal-Jama’ah, dan mutashawwifiin (ulama tasawuf/akhlaq). Hasilnya, telah ditulis beribu-ribu jilid kitab dalam rangka menjelaskan kandungan al-Qur’an dan Sunnah secara gamblang dan terperinci, sebagai wujud kasih sayang mereka terhadap umat yang hidup dikemudian hari. Karya-karya besar itu merupakan pemahaman para ulama yang disebut di dalam al-Qur’an sebagai ‘ahludz-dzikr’, yang kemudian disampaikan kepada umat Islam secara turun-temurun dari generasi ke generasi secara berantai sampai saat ini.
Adalah sebuah keteledoran besar jika upaya orang belakangan dalam memahami Islam dengan cara ‘Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah’ dilakukan tanpa merujuk pemahaman para ulama tersebut. Itulah yang dibudayakan oleh sebagian kaum Salafi & Wahabi. Dan yang menjadi pangkal penyimpangan paham Salafi & Wahabi sesungguhnya, adalah karena mereka memutus mata rantai amanah keilmuan mayoritas ulama dengan membatasi keabsahan sumber rujukan agama hanya sampai pada ulama salaf (yang hidup sampai abad ke-3 Hijriah).
Hal ini seperti apa yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah (hidup di abad ke-8 H.) dan para pengikutnya. Bayangkan, berapa banyak ulama yang dicampakkan dan berapa banyak kitab-kitab yang dianggap sampah yang ada di antara abad ke-3 hingga abad ke-8 hijriyah. Dan lebih parahnya lagi, dengan rantai yang terputus jauh itu, Ibnu Taimiyah dan kaum Salafi-Wahabi pengikutnya seolah memproklamirkan diri sebagai pembawa ajaran ulama salaf yang murni, padahal yang mereka sampaikan hanyalah pemahaman mereka sendiri setelah merujuk langsung pendapat-pendapat ulama salaf. Bukankah yang lebih mengerti tentang pendapat ulama salaf adalah murid-murid mereka ? Dan bukankah para murid ulama salaf itu kemudian menyampaikannya kepada murid-murid mereka lagi, dan hal itu terus berlanjut secara turun temurun dari generasi ke generasi baik lisan maupun tulisan ?
Bijaksanakah Ibnu Taimiyah dan pengikutnya ketika pemahaman agama dari ulama salaf yang sudah terpelihara dari abad ke abad itu tiba di hadapan mereka di abad mana mereka hidup, lalu mereka campakkan sebagai tanda tidak percaya, dan mereka lebih memilih untuk memahaminya langsung dari para ulama salaf tersebut ? Sungguh, ini bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga keteledoran besar, bila tidak ingin disebut ‘kebodohan dan pembodohan’ !. Jadi, kaum Salafi & Wahabi bukan cuma menggaungkan motto ‘Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah’ secara langsung, tetapi juga secara langsung maupun tidak, menggaungkan motto ‘Kembali kepada pendapat para ulama salaf’ dengan cara dan pemahaman sendiri. Mereka bagaikan orang yang ingin menghitung buah di atas pohon yang rindang tanpa memanjat, dan bagaikan orang yang mengamati matahari atau bulan dari bayangannya di permukaan air.
*****

3

Para ulama telah menghidangkan penjelasan tentang al-Qur’an dan Sunnah di dalam kitab-kitab mereka kepada umat sebagai sebuah ‘hasil jadi’. Para ulama itu bukan saja telah memberi kemudahan kepada umat untuk dapat memahami agama dengan baik tanpa proses pengkajian atau penelitan yang rumit, tetapi juga telah menyediakan jalan keselamatan bagi umat agar terhindar dari pemahaman yang keliru terhadap al-Qur’an dan Sunnah yang sangat mungkin terjadi jika mereka lakukan pengkajian tanpa bekal yang mumpuni seperti yang dimiliki para ulama tersebut.
Boleh dibilang, kemampuan yang dimiliki para ulama itu tak mungkin lagi bisa dicapai oleh orang setelahnya, terlebih di zaman ini, menimbang masa hidup mereka yang masih dekat dengan masa hidup Rasulullah SAW & para Shahabat yang tidak mungkin terulang, belum lagi keunggulan hafalan, penguasaan berbagai bidang ilmu, lingkungan yang shaleh, wara’ (kehati-hatian), keikhlasan, keberkahan, dan lain sebagainya. Belum lagi jika kita membaca sejarah hidup mereka yang penuh dengan keshalehan dan selalu hidup manjauhi dari segala dorongan hawa nafsu.
Para ulama seakan-akan telah menghidangkan ‘makanan siap saji’ yang siap disantap oleh umat tanpa repot-repot meracik atau memasaknya terlebih dahulu, sebab para ulama tahu bahwa kemampuan meracik atau memasak itu tidak dimiliki setiap orang. Inilah yang disebut sebagai ulama ‘warasatul anbiya’. Saat kaum Salafi & Wahabi mengajak umat untuk tidak menikmati hidangan para ulama, lalu mengalihkan mereka untuk langsung merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah dengan dalih pemurnian agama dari pencemaran ‘pendapat’ manusia (ulama) yang tidak memiliki otoritas untuk menetapkan syari’at, berarti sama saja dengan menyuruh orang lapar untuk membuang hidangan yang siap disantapnya, lalu menyuruhnya dari awal untuk menanam padi.
Seandainya tidak demikian, berarti mereka mengelabui umat dengan cara menyembunyikan figur ulama mayoritas yang mereka anggap telah ‘mencemarkan agama’, lalu menampilkan dan mempromosikan segelintir sosok ulama Salafi & Wahabi beserta karya-karya mereka serta mengarahkan umat agar hanya mengambil pemahaman al-Qur’an dan Sunnah dari mereka saja dengan slogan ‘pemurnian agama’. Inilah kesombongan yang paling hebat yang tidak pernah dilakukan para ulama sebelumnya !

Sesungguhnya, ‘pencemaran’ yang dilakukan para ulama yang shaleh dan ikhlas itu adalah upaya yang luar biasa untuk melindungi umat dari kesesatan.  Sedangkan ‘pemurnian’ yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah penodaan terhadap ijtihad para ulama dan pencemaran terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Dan pencemaran terbesar yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi terhadap al-Qur’an dan Sunnah adalah saat mereka mengharamkan begitu banyak perkara yang tidak diharamkan oleh al-Qur’an dan Sunnah; saat mereka menyebutkan secara terperinci amalan-amalan yang mereka vonis sebagai bid’ah sesat atas nama Allah dan Rasulullah SAW, padahal Allah tidak pernah menyebutkannya di dalam al-Qur’an dan Rasulullah SAW tidak pernah menyatakannya di dalam Sunnah (Hadits)-nya.
*****
Dari uraian ini, nyatalah bahwa orang yang ‘Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah’ itu belum tentu dapat dianggap benar, dan bahwa para ulama yang telah menulis ribuan jilid kitab tidak mengutarakan pendapat menurut hawa nafsu mereka. Alangkah ironisnya bila karya-karya para ulama yang jelas-jelas lebih mengerti tentang al-Qur’an dan Sunnah itu dituduh oleh kaum Salafi & Wahabi sebagai kumpulan pendapat manusia yang tidak berdasar pada dalil, sementara kaum Salafi & Wahabi sendiri yang jelas-jelas hanya memahami dalil secara harfiyah (tekstual) dengan sombongnya menyatakan diri sebagai orang yang paling sejalan dengan al-Qur’an dan Sunnah.


‘Kembali pada Al-Qur’an & Sunnah’ ? Ya!  Tapi bukan dalam ‘perspektif’  Salafi -Wahabi, karena kami dari dulu sampai sekarang mengikuti para Ulama Ahlussunnah Waljama’ah !!



Rabu, 19 Juni 2013

CERITA PLINTIRAN "RUSTUMIYAH" WAHABI



SEGALA CARA DIGUNAKAN "SEKTE WAHABI-SALAFY" UNTUK MENIPU UMAT


Cerita Populer Wahhabiyyah Rustumiyyah ini menceritakan tentang ajaran seorang yang bernama Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum [208 H/823 M] atau konon disebut dengan nama Wahhabi, dan di akhir cerita di vonis sesat oleh seorang Ulama bernama Al-Lakhmi atau nama lengkap Ali bin Muhammad Al-Lakhmi [478 H/1085 M], adapun bila ada kesamaan nama atau sebutan dalam dongen tersebut hanyalah sebuah kebetulan atau memang ada misi dibalik nama-nama tersebut, namun nama-nama dan sebutan dalam cerita populer ini tidak ada hubungan dengan Salafi-Wahabi dengan bermacam varian nya, yang juga difatwakan sesat oleh Ulama Ahlus Sunnah Waljama’ah seluruh dunia, karena Wahabi yang difatwakan sesat oleh Ulama Ahlus Sunnah sedunia adalah ajaran Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab At-Tamimi An-Najdi [1206 H/1791M], sekali lagi bahwa Wahabi dalam dongeng tersebut tidak ada hubungan apa pun dengan Wahabi yang beredar disekeliling kita sekarang ini atau yang sering menyebut diri nya Salafi, meri kita ikuti dongeng populer ini sampai akhir, agar generasi kita tidak termakan oleh sebuah dongeng atau cerita yang tidak bisa dibuktikan kebenaran nya (semoga Allah menjaga kita semua dari fitnah Agama ini).
Begini Cerita nya !  Dongeng ini kami copas dari situs Syekh Salafi-Wahabi, tapi ingat ini hanya sebuah dongeng ! harap baca sampai tuntas, agar tidak salah paham

Dongeng Wahhabiyyah Rustumiyyah

DongengWahhabiyyahRustumiyyah
    (awal dongeng)- Cerita ini berawal dari dialog antara Syaikh Muhammad bin Sa’ad Asy Syuwai’ir dengan para masyaikh/dosen-dosen disuatu Universitas Islam di Maroko (tidak jelas Universitasnya).
Salah seorang Dosen itu berkata: ”Sungguh hati kami sangat mencintai Kerajaan Saudi Arabia, demikian pula dengan jiwa-jiwa dan hati-hati kaum muslimin sangat condong kepadanya,dimana setiap kaum muslimin sangat ingin pergi kesana, bahkan antara kami dengan kalian sangat dekat jaraknya. Namun sayang, kalian berada diatas suatu Madzhab, yang kalau kalian tinggalkan tentu akan lebih baik, yaitu Madzhab Wahabi.”
Kemudian Asy Syaikh dengan tenangnya menjawab: ”Sungguh banyak pengetahuan yang keliru yang melekat dalam pikiran manusia, yang mana pengetahuan tersebut bukan diambil dari sumber-sumber yang terpercaya, dan mungkin kalian pun mendapat khabar-khabar yang tidak tepat dalam hal ini.
Baiklah, agar pemahaman kita bersatu, maka saya minta kepada kalian dalam diskusi ini agar mengeluarkan argumen-argumen yang diambil dari sumber-sumber yang terpercaya,dan saya rasa di Universitas ini terdapat Perpustakaan yang menyediakan kitab-kitab sejarah islam terpercaya .Dan juga hendaknya kita semaksimal mungkin untuk menjauhi sifat Fanatisme dan Emosional.”
Dosen itu berkata : saya setuju denganmu, dan biarkanlah para Masyaikh yang ada dihadapan kita menjadi saksi dan hakim diantara kita.
Asy Syaikh berkata : ”saya terima, Setelah bertawakal kepada Allah, saya persilahkan kepada anda untuk melontarkan masalah sebagai pembuka diskusi kita ini.”
Dosen itu pun berkata :”baiklah kita ambil satu contoh, ada sebuah fatwa yang menyatakan bahwa firqoh wahabi adalah Firqoh yang sesat. Disebutkan dalam kitab Al-Mi ’yar yang ditulis oleh Al Imam Al-Wansyarisi, beliau menyebutkan bahwa Al-Imam Al-Lakhmi pernah ditanya tentang suatu negeri yang disitu orang-orang Wahabiyyun membangun sebuah masjid,”Bolehkan kita Sholat di Masiid yang dibangun olehorang-orang wahabi itu ??”maka Imam Al-Lakhmi pun menjawab:”Firqoh Wahabiyyah adalah firqoh yang sesat, yang masjidnya wajib untuk dihancurkan, karena mereka telah menyelisihi kepada jalannya kaum mu ’minin, dan telah membuat bid’ah yang sesat dan wajib bagi kaum muslimin untuk mengusir mereka dari negeri-negeri kaum muslimin ”.
Dosen itu berkata lagi :”Saya rasa kita sudah sepakat akan hal ini, bahwa tindakan kalian adalah salah selama ini,”
Kemudian Asy Syaikh menjawab : ”Tunggu dulu..!! kita belum sepakat, lagipula diskusi kita ini baru dimulai, dan perlu anda ketahui bahwasannya sangat banyak fatwa yang seperti ini yang dikeluarkan oleh para ulama sebelum dan sesudah Al-Lakhmi, untuk itu tolong anda sebutkan terlebih dahulu kitab yang menjadi rujukan kalian itu !”
Dosen itu berkata: ”anda ingin saya membacakannya dari fatwanya saja, atau saya mulai dari sampulnya ??”
Asy Syaikh menjawab:”dari sampul luarnya saja.”
Dosen itu kemudian mengambil kitabnya dan membacakannya: ”Namanya adalah Kitab Al-Mi’yar,yang dikarang oleh Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi. Wafat pada tahun 914 H dikota Fas, di Maroko.”
Kemudian Asy Syaikh berkata kepada salah seorang penulis di sebelahnya:”wahai syaikh, tolong catat baik- baik, bahwa Imam Al-Wansyarisi wafat pada tahun 914 H. Kemudian bisakah anda menghadirkan biografi Imam Al- Lakhmi ??”
Dosen itu berkata:”Ya,”kemudian dia berdiri menuju salah satu rak perpustakaan, lalu dia membawakan satu juz dari salah satu kitab-kitab yang mengumpulkan biografi ulama. Didalam kitab tersebut terdapat biografi Ali bin Muhammad Al-Lakhmi, seorang Mufti Andalusia dan Afrika Utara.
Kemudian Asy Syaikh berkata : ”Kapan beliau wafat?”
Yang membaca kitab menjawab: ”beliau wafat pada tahun 478 H”
Asy Syaikh berkata kepada seorang penulis tadi: ”wahai syaikh tolong dicatat tahun wafatnya Syaikh Al-Lakhmi ” kemudian ditulis.
Lalu dengan tegasnya Asy Syaikh berkata : ”Wahai para masyaikh….!!! Saya ingin bertanya kepada antum semua …!!! Apakah mungkin ada ulama yang memfatwakan tentang kesesatan suatu kelompok yang belum datang (lahir) ???? kecuali kalau dapat wahyu????”
Mereka semua menjawab :”Tentu tidak mungkin, Tolong perjelas lagi maksud anda !”
Asy syaikh berkata lagi : ”bukankah wahabi yang kalian anggap sesat itu adalah dakwahnya yang dibawa dan dibangun oleh Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab ????
Mereka berkata : ”Siapa lagi???”
Asy Syaikh berkata:”Coba tolong perhatikan..!!! Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab lahir pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H, …
Nah,ketika Al-Imam Al-Lakhmi berfatwa seperi itu, jauh RATUSAN TAHUN lamanya syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab belum lahir. bahkan sampai 22 generasi keatas dari beliau sama belum yang lahir.apalagi berdakwah..
KAIF ??? GIMANA INI???
(Merekapun terdiam beberapa saat..)
Kemudian mereka berkata:”Lalu sebenarnya siapa yang dimaksud Wahabi oleh Imam Al-Lakhmi tersebut ??” mohon dielaskan dengan dalil yang memuaskan, kami ingin mengetahui yang sebenarnya !”
Asy Syaikh pun menjawab dengan tenang : ”Apakah anda memiliki kitab Al-Firaq Fii Syimal Afriqiya, yang ditulis oleh Al-Faradbil, seorang kebangsaan Francis ?”
Dosen itu berkata:”Ya ini ada,”
Asy Syaikh pun berkata :”Coba tolong buka di huruf “ wau” ..maka dibukalah huruf tersebut dan munculah sebuah judul yang tertulis “ Wahabiyyah”
Kemudian Asy Syaikh menyuruh kepada Dosen itu untuk membacakan tentang biografi firqoh wahabiyyah itu.
Dosen itu pun membacakannya: ”Wahabi atau Wahabiyyah adalah sebuah sekte KHOWARIJ ABADHIYYAH yang dicetuskan oleh Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum Al-Khoriji Al- Abadhi, Orang ini telah banyak menghapus Syari’at Islam, dia menghapus kewajiban menunaikan ibadah haji dan telah terjadi peperangan antara dia dengan beberapa orang yang menentangnya. Dia wafat pada tahun 197 H dikota Thorat di Afrika Utara. Penulis mengatakan bahwa firqoh ini dinamai dengan nama pendirinya, dikarenakan memunculkan banyak perubahan dan dan keyakinan dalam madzhabnya. Mereka sangat membenci Ahlussunnah.
Setelah Dosen itu membacakan kitabnya Asy Syaikh berkata : ”Inilah Wahabi yang dimaksud oleh imam Al-Lakhmi, inilah wahabi yang telah memecah belah kaum muslimin dan merekalah yang difatwakan oleh para ulama Andalusia dan Afrika Utara sebagaimana yang telah kalian dapati sendiri dari kitab-kitab yang kalian miliki. Adapun Dakwah yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang didukung oleh Al-Imam Muhammad bin Su’ud-Rahimuhumallah-, maka dia bertentangan dengan amalan dakwah Khowarij, karena dakwah beliau ini tegak diatas kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, dan beliau menjauhkan semua yang bertentangan dengan keduanya, mereka mendakwahkah tauhid, melarang berbuat syirik, mengajak umat kepada Sunnah dan menjauhinya kepada bid ’ah, dan ini merupakan Manhaj Dakwahnya para Nabi dan Rasul. (akhir dongeng)
Itulah dongeng lengkap yang sering diceritakan oleh para Syekh Salafi-Wahabi kepada pengikut setia mereka, hati-hati jangan terjebak oleh dongeng ini …..!!!
BENARKAH CERITA DIALOG ITU SEBUAH DONGENG ?

Dalam dongeng populer itu menceritakan bahwa ajaran Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum bernama Wahhabiyah nisbah kepada nama Abdul Wahhab, ternyata ajaran yang disebarkan oleh Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum itu bukan Wahhabiyyah ( الوهابيه ) TAPI WahBiyyah ( الوهبية ),

lalu kenapa juga ajaran nya disebut Wahbiyyah ? apakah Wahbiyyah itu nisbah kepada Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum ? nah tentu saja bukan karena ajaran Wahbiyyah tersebut adalah nisbah kepada Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi (38 H) [عبد الله بن وهب الراسبي] [Lihat Al-Firaq Fii Syimal Afriqiya- halaman 145], lalu pecah kepada beberapa firqah, nah firqah nya Abdul wahhab bin Abdirrahman bin Rustum di sebut Wahbiyyah Rustumiyyah (bukan Wahhabiyyah Rustumiyyah), bahkan dalam kitab yang tersebut di atas (rujukan dalam dongeng) sangat jelas bahwa Al-Lakhmi di tanyakan tentang kaum Wahbiyyah, bukan tentang Wahhabiyyah, tetapi dalam dongeng disebutkan bahwa Al-Lakhmi ditanyakan tentang Wahhabiyyah, ini jelas-jelas tipuan dan pembodohan, simak penjelasan berikut ini :

Dalam kitab Tarikh Ibnu Khaldun juzuk II halaman 98, beliau berkata :


وكان يزيد قد أذل الخوارج ومهد البلاد فكانت ساكنة أيام روح ورغب في موادعة عبد الوهاب بن رستم وكان من الوهبية فوادعه

Perhatikan dari teks di atas : (ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﺔ)
dan adalah Abdul Wahhab bin Rustum sebagian dari “WaHBiyyah”
Maksudnya, Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum adalah pengikut Wahbiyyah bukan Wahhabiyyah, dan juga bukan pendiri Wahbiyyah sehingga ada anggapan bahwa ajaran nya bernama Wahhabiyyah nisbah kepada nama nya Abdul Wahhab, sunnguh anggapan yang sangat keliru, perbedaan antara Wahbiyyah dan Wahhabiyyah bagaikan langit dan bumi, baik dari penulisan atau bacaan nya, atau pun pada nisbah dan ajaran nya, tapi kemiripan penulisan tulisan dan bacaan nya membantu para Syekh Salafi-Wahabi untuk menipu para simpatisan mereka, maka tertipulah orang-orang yang hanya bisa melihat tapi tak mau berpikir. (na’uzubillah)
Bahkan dalam Al-Mi’yaar al-Mu’rib wa al-Jaami’ al-Mughrib ‘an Fataawaa Ifriiqiyyah wa al-Andalus wa al-Maghrib juzuk 11 halaman 168 di tulis oleh Ahmad bin Yahya Al-Wansyarisi (sebagaimana rujukan dalam dongeng di atas)
وسئل اللخمي عن قوم من الوهبية سكنوا بين أظهر أهل السنة زمانا وأظهروا الآن مذهبهم وبنوا مسجدا ويجتمعون فيه ويظهرون مذهبهم في بلد فيه مسجد مبني لأهل السنة زمانا ، وأظهروا أنه مذهبهم وبنوا مسجدا يجتمعون فيه ويأتي الغرباء من كل جهة كالخمسين والستين ، ويقيمون عندهم ، ويعملون لهم بالضيافات ، وينفردون بالأعياد بوضع قريب من أهل السنة . فهل لمن بسط الله يده في الأرض الإنكار عليهم ، وضربهم وسجنهم حتى يتوبوا من ذلك ؟

Perhatikan dari teks di atas : (ﻭﺳﺌﻞ ﺍﻟﻠﺨﻤﻲ ﻋﻦ ﻗﻮﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﻫﺒﻴﺔ)

“Dan Al-Lakhmi ditanyakan tentang satu kaum dari WaHBiyyah

Maksudnya, Imam Al-Lakhmi ditanyakan tentang satu firqah dari Wahbiyyah, sementara dalam dongeng di atas disebutkan Al-Lakhmi ditanyakan tentang firqah Wahhabiyyah, sangat jelas ini tipuan belaka, Wahhabiyyah dalam penulisan bahasa Arab ber-tasydid pada (Ha) dan ada (Alif) di depan (Ha), sementara Wahbiyyah tulisan nya tidak ber-tasydid pada (Ha) dan tidak ada (Alif) di depan (Ha), maka fatwa Al-Lakhmi bukan tentang faham Wahhabiyyah, tapi tentang firqah Wahbiyyah, dan tidak ada hubungan antara Wahhabiyyah dan Wahbiyyah Rustumiyyah ibadhiyyah.
Dan dalam buku seorang sejarawan asal  Prancis, sebagaimana rujukan dalam dongeng itu pula, yaitu Al-Firaq Fii Syimal Afriqiya, yang ditulis oleh Al-Faradbil [1364 H/1945 M], lihatlah penyimpangan cerita itu dengan apa yang tersebut dalam buku rujukan nya, ini tulisan Al-Faradbil dalam buku nya :
وقد سموا أيضا الوهبيين نسبة إلى عبد الله بن وهب الراسبي ، زعيم الخوارج

“Dan sungguh mereka dinamakan WahBiyyin (الوهبيين) karena dinisbahkan kepada Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi, yang di tuduh sebagai Khawarij” [Al-Firaq Fii Syimal Afriqiya- halaman 145].
Ternyata dalam buku Al-Faradbil juga tertulis Wahbiyyin, bukan Wahhabiyyin, dan dengan sharih disebutkan nisbah nya, Wahbiyyah atau Wahbiyyin bukan nisbah kepada Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum sebagaimana dalam dongeng di atas, akan tetapi Wahbiyyah itu nisbah kepada Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi.


Semakin terang benderang upaya makar para syekh Salafi-Wahabi hendak memutar balikkan fakta, sungguh tipuan yang hampir sempurna, banyak trik yang telah mereka susupi dalam kitab, buku, situs dan blog mereka, dan para pengikut mereka tidak pernah mempertanyakan atau membuktikan kebenaran nya, sikap para pengikut mereka yang hanya bisa taqlid buta, semakin mendukung para syekh akan terus mempertahankan taktik ini, (semoga membuka mata para pecinta dongeng itu).


Dan perhatikan nama-nama kitab Wahbiyyah berikut ini :


كتـاب ( تلخيص عقائد الوَهْبِيَّة في نكتة توحيد خالق البرية ) * للشيخ إبراهيم بن بيحمان اليسجني من علماء وادي مِيزَاب بالجزائر ( ت : 1232هـ / 1817م )
كتاب ( العقيدة الوَهْبِيَّة ) * للشيخ أبي مسلم ناصر بن سالم البَهْلانِي من علماء عُمَان ( ت : 1339هـ / 1920م )
كتاب ( دفع شبه الباطل عن الإباضية الوَهْبِيَّة المحقة ) * للشيخ أبي اليقظان إبراهيم من علماء وادي مِيزَاب بالجزائر ( ت : 1393هـ / 1973م )

Perhatikan, ini pengakuan dan pernyataan dari mereka sendiri bahwa faham mereka bernama “Wahbiyyah- الوَهْبِيَّة bukan Wahhabiyyah, semua mata pun bisa melihat dengan sangat jelas, hanya hati yang ingkar yang masih mempertahankan cerita yang tidak bisa dibuktikan kebenaran nya, ketika cerita atau sejarah sudah tidak lagi sesuai dengan fakta, maka pantaslah cerita itu masuk dalam kategori Dongeng, silahkan saja bercerita, tapi bukan untuk di percaya, tapi seharusnya seorang Ustadz tidak mengelabui murid-murid nya dengan cerita dusta, apalagi setingkat Ustadz lulusan luar negeri, sungguh sangat disayangkan. (semoga allah membuka mata mereka)

WAHHABI ADALAH NAMA AJARAN SYEKH MUHAMMAD IBNU ABDIL WAHHAB AT-TAMIMI AN-NAJDI

berikut bukti pengakuan dari Syaikh Wahabi yakni Ibnu Baz dalam kitab Fatawa Nur ‘ala al-darb pada soal yang ke 6 sebagai berikut :

س 6 – يقول السائل: فضيلة الشيخ، يسمي بعض الناس عندنا العلماء في المملكة العربية السعودية بالوهابية فهل ترضون بهذه التسمية؟ وما هو الرد على من يسميكم بهذا الاسم؟

“Soal ke 6 – Seseorang bertanya kepada Syaikh : Sebagian manusia menamakan Ulama-Ulama di Arab Saudi dengan nama Wahabi [Wahabiyyah], adakah antum ridho dengan nama tersebut ? dan apa jawaban untuk mereka yang menamakan antum dengan nama tersebut ?”

Syaikh Ibnu Baz
menjawab sebagai berikut :
الجواب: هذا لقب مشهور لعلماء التوحيد علماء نجد ينسبونهم إلى الشيخ الإمام محمد بن عبد الوهاب رحمة الله عليه

Jawab : Penamaan tersebut masyhur untuk Ulama Tauhid yakni Ulama Nejed [Najd], mereka menisbahkan para Ulama tersebut kepada Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab.
dan bahkan Ibnu Baz memuji nama tersebut, ia berkata :
فهو لقب شريف عظيم

“Nama itu (Wahhabiyah) adalah panggilan yang sangat mulia dan sangat agung”.
Sungguh pengakuan yang sangat jujur yang seharusnya dimiliki oleh semua Syekh Salafi-Wahabi, kenapa harus main curang kalau memang yakin dengan kebenaran dakwah Wahabi ? lagi pula kebenaran dan kesesatan bukan pada sebuah nama atau julukan, justru kebohongan yang semakin lama semakin banyak Nampak ke permukaan, akan membuat para penggemar Salafi-Wahabi kecewa, ketika mereka tau ternyata Wahabi bukan bermanhaj Salaf.


KESALAHAN PARA SYEKH SALAFI-WAHABI DALAM DONGENG INI

1.
Menghubungkan Fatwa tentang firqah Wahbiyyah dengan firqah Wahhabiyyah.
2. Menghilangkan atau menganggap sama Wahbiyyah dengan Wahhabiyyah.
3. Cerita nya tidak sesuai dengan apa yang ada dalam kitab atau buku rujukan yang tersebut dalam cerita itu.
4. Menceritakan bahwa Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum adalah pendiri Wahbiyyah, agar sesuai dengan tujuan cerita.
5. Ternyata tidak ada ajaran bernama Wahhabi pada masa daulah Rustumiyyah.
6. Wahbiyyah ternyata nisbah kepada Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi.
7. Main curang untuk membela satu paham yang mereka anggap benar.

MISI DIBALIK DONGENG INI


Siapa pun bisa menebak apa misi di balik trik ini, trik yang sudah terlalu sering digunakan oleh para Syekh Wahhabi Saudi, walaupun trik ini kelihatan sangat super bodoh tapi tetap mereka pertahankan, karena sangat efektif mempengaruhi orang bodoh (awam), ideologi bodoh itu sangat ilmiah dan masuk akal di kalangan orang bodoh, tapi orang yang berpendidikan pasti bisa melihat apa maksudnya dongeng itu ? dia pasti bisa merasakan ada sesuatu di balik cerita yang tidak ada manfaat itu, dan bahkan sangat jelas dalam dongeng itu pun telah ada pembelaan terhadap ajaran Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab, kemiripan sebuah nama, mereka gunakan untuk menutupi kesesatan ajaran mereka, agar orang buta bertambah gelap dalam kebutaan nya, dan menyangka itulah Wahhabi sesungguhnya yang difatwakan sesat oleh ulama Ahlus Sunnah, dan ajaran sesat Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab pun terlepas dengan hanya sebuah dongeng belaka (na’uzubillah min dzalik).
FATWA ULAMA AHLUS SUNNAH WALJAMA’AH TENTANG AJARAN SYEKH MUHAMMAD BIN ABDIL WAHHAB AT-TAMIMI

Al-Imam Ibn Abidin Al-Hanafi berkata :

Keterangan tentang pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, kaum Khawarij pada masa kita. Sebagaimana terjadi pada masa kita, pada pengikut Ibn Abdil Wahhab yang keluar dari Najd dan berupaya keras menguasai dua tanah suci. Mereka mengikuti madzhab Hanabilah. Akan tetapi mereka meyakini bahwa mereka saja kaum Muslimin, sedangkan orang yang berbeda dengan keyakinan mereka adalah orang-orang musyrik. Dan oleh sebab itu mereka menghalalkan membunuh Ahlussunnah dan para ulamanya sampai akhirnya Allah memecah kekuatan mereka, merusak negeri mereka dan dikuasai oleh tentara kaum Muslimin pada tahun 1233 H.
(Hasyiyah Raddul Muhtar ‘ala Ad-Durr al-Mukhtar-juzuk 4- halaman 262).

Al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid Al-Hanbali An-Najdi berkata :

Abdul Wahhab bin Sulaiman At-Tamimi An-Najdi, adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiyah, yang percikan apinya telah tersebar di berbagai penjuru. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Padahal Muhammad (pendiri Wahhabi) tidak terang-terangan berdakwah kecuali setelah meninggalnya sang ayah. Sebagian ulama yang aku jumpai menginformasikan kepadaku, dari orang yang semasa dengan Syaikh Abdul Wahhab ini, bahwa beliau sangat murka kepada anaknya, karena ia tidak suka belajar ilmu fiqih seperti para pendahulu dan orang-orang di daerahnya. Sang ayah selalu berfirasat tidak baik tentang anaknya pada masa yang akan datang. Beliau selalu berkata kepada masyarakat, “Hati-hati, kalian akan menemukan keburukan dari Muhammad.” Sampai akhirnya takdir Allah benar-benar terjadi. Demikian pula putra beliau, Syaikh Sulaiman (kakak Muhammad bin Abdul Wahhab), juga menentang terhadap dakwahnya dan membantahnya dengan bantahan yang baik berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Syaikh Sulaiman menamakan bantahannya dengan judul Fashl al-Khithab fi al-Radd ‘ala Muhammad bin Abdul Wahhab. Allah telah menyelamatkan Syaikh Sulaiman dari keburukan dan tipu daya adiknya meskipun ia sering melakukan serangan besar yang mengerikan terhadap orang-orang yang jauh darinya. Karena setiap ada orang yang menentangnya, dan membantahnya, lalu ia tidak mampu membunuhnya secara terang-terangan, maka ia akan mengirim orang yang akan menculik dari tempat tidurnya atau di pasar pada malam hari karena pendapatnya yang mengkafirkan dan menghalalkan membunuh orang yang menyelisihinya.
(As-Suhub Al-Wabilah ‘ala Dharaih Al-Hanabilah-halaman 275).

Al-Imam Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan Asy-Syafi’I Al-Makki :

Sayyid Abdurrahman al-Ahdal, mufti Zabid berkata: “Tidak perlu menulis bantahan terhadap Ibnu Abdil Wahhab. Karena sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam cukup sebagai bantahan terhadapnya, yaitu “Tanda-tanda mereka (Khawarij) adalah mencukur rambut (maksudnya orang yang masuk dalam ajaran Wahhabi, harus mencukur rambutnya)”. Karena hal itu belum pernah dilakukan oleh seorang pun dari kalangan ahli bid’ah.
(Fitnah Al-Wahhabiyah, halaman. 54).

Al-Imam Ahmad bin Muhammad As-Shawi Al-Maliki :

Ayat ini turun mengenai orang-orang Khawarij, yaitu mereka yang mendistorsi penafsiran al-Qur’an dan Sunnah, dan oleh sebab itu mereka menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin sebagaimana yang terjadi dewasa ini pada golongan mereka, yaitu kelompok di negeri Hijaz yang disebut dengan aliran Wahhabiyah, mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh sesuatu (manfaat), padahal merekalah orang-orang pendusta.
(Hasyiyah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain- juzuk 3- halaman 307).


Pandangan Ulama empat madzhab
di atas sangat jelas untuk ajaran Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab At-Tamimi An-Najdi yang bernama Wahhabi, bukan untuk ajaran Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum atau Firqah Wahbiyyah Rustumiyyah Ibadhiyyah.

KESIMPULAN


~ Firqah yang difatwakan sesat oleh Al-Lakhmi dalam dongeng adalah ajaran yang dinisbahkan kepada Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum yang bernama Wahhabiyyah, tapi kenyataan nya dalam rujukan kitab itu, bukan bernama Wahhabiyyah tapi Wahbiyyah.
~ Wahbiyyah bukan nisbah kepada Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum, tapi nisbah kepada Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi.
~ Wahbiyyah dan Wahhabiyyah adalah dua nama untuk dua ajaran yang berbeda dan masa berbeda.
~ Wahhabi atau Wahhabiyyah yang telah difatwakan sesat oleh Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah semua Madzhab, sejak kemunculan nya sampai sekarang adalah ajaran Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab At-Tamimi An-Najdi, dan tidak ada hubungan dengan fatwa Al-Lakhmi.
~ Ada misi di balik dongeng tersebut, mereka ingin membela ajaran Syekh mereka dengan cara berdusta dan membodohi para pengikut setia mereka, dan mengalihkan semua Fatwa Ulama hlus Sunnah Waljama’ah kepada ajaran lain yang hampir serupa nama nya dalam penulisan dan bacaan nya.
~ Fatwa Ulama Ahlus Sunnah seluruh Madzhab, ditujukan kepada ajaran Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab An-Najdi, yakni ajaran Salafi-Wahabi.
~ Wahabi dalam dongeng tersebut tidak ada hubungan dengan Salafi-Wahabi, bukan sebagai bukti sesat nya atau tidak sesat nya.
~ Wahhabi yang sesungguhnya hanya ada satu yakni ajaran Syekh Muhammad bin Abdil Wahhab At-Tamimi An-Najdi, karena ajaran Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum tidak pernah dinamakan dengan nama Wahhabi kecuali hanya dalam dongeng itu saja.
~ Hati-hati membaca dongeng, jangan sampai anda termakan dan menjadi korban sebuah dongeng, apalagi dongeng dalam masalah Agama.


Semoga tulisan ini menjadi ilmu bagi penulis dan pembaca semua, dan juga kepada siapa pun yang pernah termakan oleh dongeng itu, Wallahul muwaffiq ila aqwamit thoriq, amiin…


____

Selasa, 18 Juni 2013

Tuhan "WAHABI" Jogging !!





KEBLINGERAN TAUHID RUBUBIYAH "WAHABI" YANG MENSIFATI ALLAH 'JISIM'

══════════════════════════════════════════════════════════════


Salafi- Wahabi mengatakan Allah disifati dengan Jogging/ berlari-lari



Dalam Fatawa al-Aqida Salafi 'Syaikh' Muhammad bin Salih Uthaimin,
halaman 112, mengatakan:
Kutipan:


ﻭﺃﻱ ﻣﺎﻧﻊ ﻳﻤﻨﻊ ﻣﻦ ﺃﻥ ﻧﺆﻣﻦ ﺑﺄﻥ
ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﺄﺗﻲ ﻫﺮﻭﻟﺔ


"Apa yang melarang kita
untuk percaya bahwa Allah melakukan joging /
berlari [harwala]?"



Dan di bawah ini adalah kutipan dari Lajnatud-Da'imah`Ilmiyyah lil-Buhuthul- wal Ifta
atau Komite Permanen Riset Ilmiah dan Fatwa (Kerajaan Arab Saudi):


Kutipan:

ﻓﺘﺎﻭﻯ ﺍﻟﻠﺠﻨﺔ ﺍﻟﺪﺍﺋﻤﺔ ﻟﻠﺒﺤﻮﺙ

ﺍﻟﻌﻠﻤﻴﺔ ﻭﺍﻹﻓﺘﺎﺀ ﺝ 3 ﺹ 196:
(ﺱ: ﻫﻞ ﻟﻠﻪ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﻬﺮﻭﻟﺔ?
ﺝ: ﻧﻌﻢ, ﻋﻠﻰ ﻧﺤﻮ ﻣﺎ ﺟﺎﺀ ﻓﻲ
ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻘﺪﺳﻲ ﺍﻟﺸﺮﻳﻒ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ
ﻳﻠﻴﻖ ﺑﻪ ﻗﺎﻝ
ﺗﻌﺎﻟﻰ: ﺇﺫﺍ ﺗﻘﺮﺏ ﺇﻟﻲ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﺷﺒﺮﺍ
ﺗﻘﺮﺑﺖ ﺇﻟﻴﻪ ﺫﺭﺍﻋﺎ ﻭﺇﺫﺍ ﺗﻘﺮﺏ ﺇﻟﻲ
ﺫﺭﺍﻋﺎ
ﺗﻘﺮﺑﺖ ﻣﻨﻪ ﺑﺎﻋﺎ ﻭﺇﺫﺍ ﺃﺗﺎﻧﻲ ﻣﺎﺷﻴﺎ
ﺃﺗﻴﺘﻪ ﻫﺮﻭﻟﺔ.ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﺳﻠﻢ ).

Terjemahan :
T: Apakah Jogging (Harwala) itu sifat Allah?
J:
Ya, sebagaiman telah ditunjukkan dalam Al-Hadis Qudsi Shareef ;
"... Dan jika hambaku datang kepada-Ku berjalan, Aku menghampirinya dgn berlari."
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim


══════════


Nah,, kaLau Syeik Uthaimin ditanya tentang hadist qudsi yang ini kira2 jawabnya apa ya . . ?!!


Dalam hadits qudsi Allah SWT berfirman:
“Wahai hamba-Ku, Aku sakit dan kau tidak menjenguk-Ku”,
maka hambanya bertanya: Robbii bagaimana kami menjenguk-Mu?
Sedangkan Engkau Robbul’aalamiin ,
maka Allah menjawab: “ fulan, hamba-Ku sakit kau tidak menjenguknya , kalau kau menjenguknya, akan kau temukan Aku (kata Allah) berada disisinya”
(HR. Muslim, no: 4661)


APA TUHAN WAHABI JUGA LAGI di OKNAME... ?????!!!!!!
glodhaaakkkk.......!!!!!!

Senin, 17 Juni 2013

Kaidah Fiqh Islam : “Asal Ibadah adalah Tauqif” Bukan “haram”



(KITAB FATHUL BARI)


Kaidah Fiqh Islam : “Asal Ibadah adalah Tauqif” Bukan “haram”


ingat kaidah fiqh: “Asal Ibadah adalah Tauqif” Bukan “haram”dan “ibadah” yang dimaksud dalam kaidah ini hanyalah : “ibadah mahdhah sahaja”


Ibadah Mahdhah yaitu Ibadah yang hanya berhubungan dengan Allah dan telah lengkap dan sempurna penjelasannya dalam Qur’an dan Hadits.
Seperti : Shalat, Puasa, Haji, Zakat, berikut syarat dan rukun yang mendampinginya.
Bisa dilihat di Kitab Fathul Bari dan beberapa Kitab Ushul Fiqh.

Asal Ibadah adalah Tauqif (berhenti) pada dalil yang jelas (sahih) baik Qur’an dan hadits. Pengertian berhenti adalah mengikuti pada dalil yang sahih dari Qur’an dan hadits tidak boleh dikurangi, ditambahi, mendahulukan ataupun mengakhirkan. lebih lengkapnya:::


Sangat sering kita membaca atau mendengar ucapan, “Mana dalilnya ?” ATAU  “Kalau memang itu baik/benar mengapa Rasulallah dan para sahabat tidak pernah melakukannya ?”, “Lau Kana Khairan Ma Sabaquna ilaihi ?”, “Apakah Rasulallah dan sahabatnya pernah melakukannya ?” dan lain sebagainya.
Hal ini paling sering diucapkan oleh kelompok minoritas tertentu dalam memvonis amaliah pengikut I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah, seperti Yasinan, Tahlilan, Maulid Nabi Muhammad SAW., peringatan hari besar Islam, bermazhab, sunahnya mengucap ushalli sebelum takbiratul ihram dan amalan lainnya.


AT TARK
Pertanyaannya adalah apakah “At Tark” yaitu “Rasulallah meninggalkan atau tidak melakukan sesuatu” itu merupakan suatu hukum baru ? Bisakah “At Tark” itu dijadikan alat untuk menghukumi suatu amaliah itu makruh atau bahkan haram ? Ataukah “At Tark” itu dianggap Salafy Wahabi hanya sebagai “jembatan” untuk diarahkan ke bid’ah dhalalah, yang semua tempatnya neraka ?
Mari kita bahas bersama bagaimana sebenarnya kedudukan “At Tark” ini ?!
“At Tark” yang kita pahami sebagai amaliah yang tidak dilakukan atau ditinggalkan oleh Rasulullah” tidak secara langsung menghukumi sesuatu itu makruh atau haram atau sering disebut kelompok tertentu “Bid’ah (Dhalalah)”.


Hal ini bisa kita buktikan dari banyak sudut pandang, yaitu :


1
. Dari sudut Ushul Fiqh :, larangan jelas ditunjukkan dengan tiga hal :
  • Ada sighat nahi (berupa kalimat larangan).
             Contoh :
             ولا تقربوا الزن
             (Jangan kalian dekati zina)
  • Ada Lafadz Tahrim (Lafadz keharaman).
             Contoh :
             إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ
             (Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai dst.)
  • Ada Dzammul Fi’l (Celaan/ancaman atas suatu perkara/amal)
             Contoh :
             من غش فليس منا
             (Barang siapa memalsu maka bukan golongan kami)

Dari ketiga dasar ushul fiqh tersebut tidak ada “At Tark” di salah satunya.
   2. Nash Qur’an menyebutkan:
        وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
        “Apa yang diberikan Rosul bagimu terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”
(QS. Al Hasyr : 7)
Disini jelas nash Qur’an menggunakan lafadz “Naha” (dilarang), bukan “Tark” (ditinggalkan/tidak         pernah dilakukan)

 
3. Dalil dari Hadits menyebutkan :

        مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
        “Apa saja yang aku cegah atas kalian maka jauhilah (tinggalkanlah), dan apa-apa yang aku perintahkan pada kalian kerjakanlah semampu kalian” (HR. Bukhori Muslim)
Disini Rasulullah juga tidak mengatakan “Tark” tapi “Nahi” (larangan yang jelas).
Jadi jelas sudah bahwa “At Tark” bukan sumber hukum dan tidak bisa secara otomatis menghukumi sesuatu itu makruh atau haram. Hal ini berbeda dengan qaidah yang baru dibuat oleh Salafy Wahabi yang mengatakan “at-Tarku Yadullu ‘ala Tahrim”. Jelas ini mengada-ada.
LAU KAANA KHAIRAN MA SABAQUUNA ILAIHI
Berikutnya adalah sering kita baca atau dengar kalimat
لَوْ كَانَ خَيْرًا مَّا سَبَقُونَا إِلَيْهِ
Lau Kaana Khairan Maa Sabaquunaa Ilaihi
Yang diartikan secara asal-asalan oleh kelompok tersebut :
“Kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentulah para Shahabat telah mendahului kita mengamalkannya”
Adakah kalimat itu dijadikan dasar hukum ? ataukah ada sumber dari Ushul Fiqh ?
Dengan tegas harus kita jawab tidak ada hal tersebut sebagai sumber hukum untuk menilai halal/haram ataupun bid’ah suatu amaliah. Dan yang paling penting kita ketahui kalimat itu sebenarnya adalah ayat Qur’an surat Al Ahqaf ayat 11. Dalam asbabun nuzul ayat tersebut menyatakan bahwa kalimat tersebut adalah kalimat “orang kafir quraisy “ yang mempertanyakan masuk Islamnya “Zanin”, budak wanita Sayyidina Umar ibn Khattab Ra. Sebelum beliau memeluk Islam.
Pantaskah hal itu digunakan sebagai dalil menghukumi suatu amal ??? Dengan tegas jawab tidak bisa. Bahkan hal itu jelas diucapkan oleh orang yang tidak punya ilmu.
ASAL IBADAH ADALAH TAUQIF
Selanjutnya yang santer juga diucapkan oleh Salafy Wahabi yaitu “Asal Ibadah adalah haram”. Yang kami temui istilah yang tepat dan banyak disebut ulama adalah “Asal Ibadah adalah Tauqif” bisa dilihat di Kitab Fathul Bari dan beberapa Kitab Ushul Fiqh.
Untuk jelasnya dalam Kitab Ushul Fiqh :
الأصل في العبادات التوقيف
وفي هذه الليلة أود أن أقف عند قضية أساسية في العبادات جميعا وهي قاعدة معروفة عند أهل العلم، أن الأصل في العبادات التوقيف كما أن الأصل في المعاملات والعقود الإباحة، وهذه قاعدة نفيسة ومهمة جدا ونافعة للإنسان، فبالنسبة للعبادات لا يجوز للإنسان أن يخترع من نفسه عبادة لم يأذن بها الله عز وجل، بل لو فعل لكان قد شرع في الدين ما لم يأذن به الله، فلم يكن لأحد أن يتصرف في شأن الصلاة أو الزكاة أو الصوم أو الحج زيادة أو نقصا أو تقديما أو تأخيرا أو غير ذلك، ليس لأحد أن يفعل هذا، بل هذه الأمور إنما تتلقى عن الشارع، ولا يلزم لها تعليل، بل هي كما يقول الأصوليون: غير معقولة المعنى، أو تعبدية، بمعنى أنه ليس في عقولنا نحن ما يبين لماذا كانت الظهر أربعا، والعصر أربعا، والمغرب ثلاثا، والفجر ركعتين، ليس عندنا ما يدل على ذلك إلا أننا آمنا بالله جل وعلا، وصدقنا رسوله صلى الله عليه وسلم، فجاءنا بهذا فقبلناه، هذا هو طريق معرفة العقائد وطريق معرفة العبادات، فمبناها على التوقيف والسمع والنقل لا غير، بخلاف المعاملات والعقود ونحوها، فإن الأصل فيها الإباحة والإذن إلا إذا ورد دليل على المنع منها، فلو فرض مثلا أن الناس اخترعوا طريقة جديدة في المعاملة في البيع والشراء عقدا جديدا لم يكن موجودا في عهد النبوة، وهذا العقد ليس فيه منع، ليس فيه ربا ولا غرر ولا جهالة ولا ظلم ولا شيء يتعارض مع أصول الشريعة، فحينئذ نقول: هذا العقد مباح؛
التوقيف في صفة العبادة
العبادة توقيفية في كل شيء، توقيفية في صفتها -في صفة العبادة- فلا يجوز لأحد أن يزيد أو ينقص، كأن يسجد قبل أن يركع مثلا أو يجلس قبل أن يسجد، أو يجلس للتشهد في غير محل الجلوس، فهيئة العبادة توقيفية منقولة عن الشارع
التوقيف في زمن العبادة
زمان العبادة توقيفي -أيضا- فلا يجوز لأحد أن يخترع زمانا للعبادة لم ترد، مثل أن يقول مثلا
التوقيف في نوع العبادة
كذلك لابد أن تكون العبادة مشروعة في نوعها، وأعني بنوعها أن يكون جنس العبادة مشروعا، فلا يجوز لأحد أن يتعبد بأمر لم يشرع أصلا، مثل من يتعبدون بالوقوف في الشمس، أو يحفر لنفسه في الأرض ويدفن بعض جسده ويقول: أريد أن أهذب وأربي وأروض نفسي مثلا، فهذه بدعة
التوقيف في مكان العبادة
كذلك مكان العبادة لابد أن يكون مشروعا، فلا يجوز للإنسان أن يتعبد عبادة في غير مكانها، فلو وقف الإنسان -مثلا- يوم عرفة بالـمزدلفة فلا يكون حجا أو وقف بـمنى، أو بات ليلة المزدلفة بـعرفة، أو بات ليالي منى بالـمزدلفة أو بـعرفة، فإنه لا يكون أدى ما يجب عليه، بل يجب أن يلتزم بالمكان الذي حدده الشارع إلى غير ذلك

Jika kita baca penjelasan diatas, maka rangkumannya adalah Asal Ibadah adalah Tauqif (berhenti) pada dalil yang jelas (sahih) baik Qur’an dan hadits. Pengertian berhenti adalah mengikuti pada dalil yang sahih dari Qur’an dan hadits tidak boleh dikurangi, ditambahi, mendahulukan ataupun mengakhirkan.

Dijelaskan selanjutnya tauqif itu mengikuti :

1. Tauqif Sifat Ibadah (التوقيف في صفة العبادة)
    dicontohkan dalam penjelasannya :
    “tidak boleh untuk menambah dan megurangi. seperti sujud sebelum ruku’, atau duduk sebelum sujud, atau duduk tasyahud tidak pada tempatnya”

2. Tauqif Waktu Ibadah (التوقيف في زمن العبادة)
    dicontohkan dalam penjelasannya :
    “tidak boleh seseorang itu membuat buat ibadah di waktu tertentu yang syari’ tidak memerintahkannya”

3. Tauqif Macamnya Ibadah (التوقيف في نوع العبادة)
    dicontohkan dalam penjelasannya :
  “tidak sah bagi orang yang menyembah sesuatu yang tidak di syariatkan, seperti menyembah matahari atau
   memendam jasadnya sebagian sembari berkata ” saya ingin melatih badanku “ misalkan ini semua bid’ah.”

4. Tauqif Tempat Ibadah (التوقيف في مكان العباد)
    dicontohkan dalam penjelasannya :
    “jika seseorang wukuf di muzdalifah, maka ini bukan haji, atau wuquf dimina, atau bermalam ( muzdalifah ) di arafah, dan sebaliknya, maka ini semua bukanlah sesuatu yang masyru’. kita wajib melaksanakan ibadah sesuai tempat yang sudah disyari’atkan oleh syari’
Jadi dari penjelasan diatas jelas bahwa Ibadah yang dimaksud adalah Ibadah Mahdhah yaitu Ibadah yang hanya berhubungan dengan Allah dan telah lengkap dan sempurna penjelasannya dalam Qur’an dan Hadits. Seperti : Shalat, Puasa, Haji, Zakat, berikut syarat dan rukun yang mendampinginya.
Maka jelas disini dalam I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah hal ini tidak boleh dikurangi, ditambahi, mendahulukan ataupun mengakhirkan. Semua sudah dalam batasan yang jelas.
Sedangkan pada Ibadah Ghairu Mahdhah yaitu Ibadah yang tidak berketatapan hukum mengikat tapi menjadikan penghubung untuk mencari ridha Allah.
Maka secara umum dalam ushul fiqh terdapat suatu ijma’ ulama yaitu Lil Wasa’il Hukmul Maqashid, artinya “Hukum untuk perantara sama dengan hukum tujuannya”.
Untuk mudahnya contohnya adalah :
“Berzina itu haram, maka menyediakan kamar/rumah untuk berzina itu juga haram”. Maka Berzina itu maqashid (tujuannya) sedang menyediakan kamar/rumah untuk berzina itu wasail (perantaranya). Jika kita cari hukum berzina jelas ada dalilnya, tapi wasailnya tanpa dalil dia sudah berhukum haram.
“Bershalawat adalah perintah (sunnah muakkad) maka mengadakan maulid nabi Muhammad SAW untuk mengenal kehidupan Nabi, membangun kecintaan kepada beliau, termasuk bershalawat didalamnya adalah Sunnah”. Bershalawat adalah maqashidnya sedang memperingati maulid adalah wasailnya.
Dan masih banyak contoh yang bisa kita ambil dalam Ibadah Ghairu Mahdhah seperti Yasinan, Tahlilan, Mengucap ushalli dan lain sebagainya. Terpenting adalah hal tersebut dari sisi maqashidnya tidak boleh bertentangan dengan Qur’an dan Hadits.
Demikianlah pemahaman dalam I’tiqad Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang mengikut junjungan kita Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wa Alihi Wasallam.
Maka jelas apa yang tidak dilakukan Rasulullah bukan “bid’ah dhalalah (tersesat)”. Dan hal itu sesuai dengan hadits Rasulullah SAW :

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barang siapa yang menjalankan suatu sunnah yang baik didalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tidak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa yang menjalankan suatu sunnah yang jelek didalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tidak dikurangkan sedikitpun dari dosanya”
(HR. Imam Muslim Nomor 1017)

______

Minggu, 16 Juni 2013

BACAAN QUR'AN KEPADA MAYYIT


  PERMASALAHAN QAUL MASYHUR DALAM MADZHAB IMAM ASY-SYAFI’I YANG MENYATAKAN TIDAK SAMPAINYA BACAAN KEPADA MAYAT

 

Pernyataan qaul masyhur bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada orang mati adalah tidak mutlak, itu karena ada qaul lain dari Imam asy-Syafi’i sendiri yang menyatakan sebaliknya. Disinilah kita perlu memahami sebuah kalimat ungkapan karakter bahasa, sebenarnya jika kita mau sedikit meluangkan Akal untuk sedikit berpikir, maka Ungkapan seperti itu tidak akan membuat kita heran, kenapa? karena memang sudah semestinya jika bacaan apapun tidak akan sampai pada Mayat!! bahkan tidak hanya bacaan saja, semua amalan kita tidak akan sampai ke orang lain, atau mayat. Namun Pemikiran Salafi/Wahhabi tidak terbuka untuk ini rupanya. Demikian juga Perkataan jelek atau amalan jelek kita juga tidak akan sampai atau di bebankan kepada Orang lain atau Mayat, jika memang amalan jelek kita itu tidak ada sangkut pautnya dg Orang lain tersebut atau Mayat itu sendiri. Jadi Amalan kita itu sampai atau tidaknya berhubungan dengan kondisi dan hal-hal tertentu, seperti perkataan beliau Imam Syafi’i :


قال الشافعى : وأحب لو قرئ عند القبر ودعى للميت

“asy-Syafi’i berkata : aku menyukai sendainya dibacakan al-Qur’an disamping qubur dan dibacakan do’a untuk mayyit”
(Ma’rifatus Sunani wal Atsar 7743 lil-Imam al-Muhaddits al-Baihaqi)
Demikianlah kita harus memahami Perkataan seorang Pembesar Agama Islam sekaliber Imam Syafi,i melalui para Ulama yang lain, entahlah jika Mereka Mendaulat Dirinya Setara Dengan Imam Syafi,i?Juga disebutkan oleh al-Imam al-Mawardi, al-Imam an-Nawawi, al-Imam Ibnu ‘Allan dan yang lainnya dalam kitab masing-masing yang redaksinya sebagai berikut :

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمهُ اللَّه: ويُسْتَحَبُّ أنْ يُقرَأَ عِنْدَهُ شيءٌ مِنَ القُرآنِ، وَإن خَتَمُوا القُرآن عِنْدهُ كانَ حَسناً


“Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata : disunnahkan agar membaca sesuatu dari al-Qur’an disisi quburnya, dan apabila mereka mengkhatamkan al-Qur’a disisi quburnya maka itu bagus
(Riyadlush Shalihin [1/295] lil-Imam an-Nawawi ; Dalilul Falihin [6/426] li-Imam Ibnu ‘Allan ; al-Hawi al-Kabir fiy Fiqh Madzhab asy-Syafi’i (Syarah Mukhtashar Muzanni) [3/26] lil-Imam al-Mawardi dan lainnya)



Kemudian hal ini dijelaskan oleh ‘Ulama Syafi’iyah lainnya seperti Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari dalam dalam Fathul Wahab :

أما القراءة فقال النووي في شرح مسلم المشهور من مذهب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلى الميت وقال بعض أصحابنا يصل وذهب جماعات من العلماء إلى أنه يصل إليه ثواب جميع العبادات من صلاة وصوم وقراءة وغيرها وما قاله من مشهور المذهب محمول على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع بل قال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت نفعه وبين ذلك وقد ذكرته في شرح الروض

“Adapun pembacaan al-Qur’an, Imam an-Nawawi mengatakan didalam Syarh Muslim, yakni masyhur dari madzhab asy-Syafi’i bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit, sedangkan sebagian ashhab kami menyatakan sampai, dan kelompok-kelompok ‘ulama berpendapat bahwa sampainya pahala seluruh ibadah kepada mayyit seperti shalat, puasa, pembacaan al-Qur’an dan yang lainnya. Dan apa yang dikatakan sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya bahkan Imam as-Subkiy berkata ; “yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila diqashadkan (ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan diantara yang demikian, sungguh telah di tuturkannya didalam syarah ar-Raudlah”.
(Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’i 2/23)


Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami didalam al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa:

وكلام الشافعي – رضي الله عنه – هذا تأييد للمتأخرين في حملهم مشهور المذهب على ما إذا لم يكن بحضرة الميت أو لم يدع عقبه

“dan perkataan Imam asy-Syafi’i ini (bacaan al-Qur’an disamping mayyit/kuburan) memperkuat pernyataan ulama-ulama Mutaakhkhirin dalam membawa pendapat masyhur diatas pengertian apabila tidak dihadapan mayyit atau apabila tidak mengiringinya dengan do’a”.
(al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami 2/27)
Lagi, dalam Tuhfatul Muhtaj :

قال عنه المصنف في شرح مسلم: إنه مشهور المذهب على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو القارئ ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع له

“Sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya untuk mayyit”.
(Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami 7/74)


Oleh karena itu Syaikh Sulaiman al-Jumal didalam Futuuhat al-Wahab (Hasyiyatul Jumal) mengatakan pula sebagai berikut :


والتحقيق أن القراءة تنفع الميت بشرط واحد من ثلاثة أمور إما حضوره عنده أو قصده له، ولو مع بعد أو دعاؤه له، ولو مع بعد أيضا اه

“dan tahqiq bahwa bacaan al-Qur’an memberikan manfaat bagi mayyit dengan memenuhi salah satu syarat dari 3 syarat yakni apabila dibacakan dihadapan (disisi) orang mati, atau apabila di qashadkan (diniatkan/ditujukan) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh, atau mendo’akan (bacaaannya) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh juga. Intahaa”.
  (Futuhaat al-Wahab li-Syaikh Sulailman al-Jamal 2/210)


فرع : ثواب القراءة للقارئ ويحصل مثله أيضا للميت لكن إن كانت بحضرته، أو بنيته أو يجعل ثوابها له بعد فراغها على المعتمد في ذلك …. (قوله: أما القراءة إلخ) قال م ر: ويصل ثواب القراءة إذا وجد واحد من ثلاثة أمور؛ القراءة عند قبره والدعاء له عقبها ونيته حصول الثواب له
“(Cabang) pahala bacaan al-Qur’an adalah bagi si pembaca dan pahalanya itu juga bisa sampai kepada mayyit apabila dibaca dihadapan orang mati, atau meniatkannya, atau menjadikan pahalanya untuk orang mati setelah selesai membaca menurut pendapat yang kuat (muktamad) tentang hal itu,…. Frasa (adapun pembacaan al-Qur’an –sampai akhir-), Imam Ramli berkata : pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayyit apabila telah ada salah satu dari 3 hal : membaca disamping
( Ibid 4/67)

Imam an-Nawawi asy-Syafi’i rahimahullah:


فالاختيار أن يقول القارئ بعد فراغه: اللهمّ أوصلْ ثوابَ ما قرأته إلى فلانٍ؛ والله أعلم


“Dan yang dipilih (qaul mukhtar) agar berdo’a setelah pembacaan al-Qur’an : “ya Allah sampaikan (kepada Fulan) pahala apa yang telah aku baca”, wallahu a’lam”.
(al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi 293)


والمختار الوصول إذا سأل الله أيصال ثواب قراءته، وينبغى الجزم به لانه دعاء، فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعى، فلان يجوز بما هو له أولى، ويبقى الامر فيه موقوفا على استجابة الدعاء، وهذا المعنى لا يخص بالقراء بل يجرى في سائر الاعمال، والظاهر أن الدعاء متفق عليه انه ينفع الميت والحى القريب والبعيد بوصية وغيرها


“dan pendapat yang dipilih (qaul mukhtar) adalah sampai, apabila memohon kepada Allah menyampaikan pahala bacaannya, dan selayaknya melanggengkan dengan hal ini karena sesungguhnya ini do’a, sebab apabila boleh berdo’a untuk orang mati dengan perkara yang bukan bagi yang berdo’a, maka kebolehan dengan hal itu bagi mayyit lebih utama, dan makna pengertian semacam ini tidak hanya khusus pada pembacaan al-Qur’an saja saja, bahkan juga pada seluruh amal-amal lainnya, dan faktanya do’a, ulama telah sepakat bahwa itu bermanfaat bagi orang mati maupun orang hidup, baik dekat maupun jauh, baik dengan wasiat atau tanpa wasiat”.
(
al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi 15/522)


Al-Imam al-Bujairami didalam Tuhfatul Habib :


قوله: (لأن الدعاء ينفع الميت) والحاصل أنه إذا نوى ثواب قراءة له أو دعا عقبها بحصول ثوابها له أو قرأ عند قبره حصل له مثل ثواب قراءته وحصل للقارئ أيضا الثواب


“Frasa : (karena sesungguhnya do’a bermanfaat bagi mayyit), walhasil sesungguhnya apabila pahala bacaan al-Qur’an diniatkan untuk mayyit atau di do’akan menyampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayyit mengiringi bacaan al-Qur’an atau membaca al-Qur’an disamping qubur niscaya sampai pahala bacaan al-Qur’an kepada mayyit dan bagi si qari (pembaca) juga mendapatkan pahala”.

(Tuhfatul Habib [Hasyiyah al-Bujairami alaa al-Khatib] 2/303)


Al-‘Allamah Muhammad az-Zuhri didalam As-Siraaj :

وتنفع الميت صدقة عنه ووقف مثلا ودعاء من وارث وأجنبي كما ينفعه ما فعله من ذلك في حياته ولا ينفعه غير ذلك من صلاة وقراءة ولكن المتأخرون على نفع قراءة القرآن وينبغي أن يقول اللهم أوصل ثواب ما قرأناه لفلان بل هذا لا يختص بالقراءة فكل أعمال الخير يجوز أن يسأل الله أن يجعل مثل ثوابها للميت فان المتصدق عن الميت لا ينقص من أجره شيء


“Bermanfaat bagi mayyit yakni shadaqah mengatas namakan mayyit, misalnya waqaf, dan (juga bermanfaat bagi mayyit yakni) do’a dari ahli warisnya dan orang lain, sebagaimana bermanfaatnya perkara yang dikerjakannya pada masa hidupnya, namun yang lainnya tidak memberikan manfaat seperti shalat dan membaca al-Qur’an, akan tetapi ulama mutakhkhirin menetapkan atas bermanfaatnya pembacaan al-Qur’an, oleh karena itu sepatutnya berdo’a : “ya Allah sampaikanlah pahala apa yang telah kami baca kepada Fulan”, bahkan hal semacam ini tidak hanya khusus pembacaan al-Qur’an saja tetapi seluruh amal-amal kebajikan lainnya juga boleh dengan cara memohon kepada Allah agar menjadikan pahalanya untuk mayyit, dan sesuangguhnya orang yang bershadaqah mengatas namakan mayyit pahalanya tidak dikurangi”. .
(
as-Sirajul Wahaj ‘alaa Matni al-Minhaj lil-‘Allamah Muhammad az-Zuhri 1/344)
Dari beberapa keterangan ulama-ulama Syafi’iyah diatas maka dapat disimpulkan bahwa qaul masyhur pun sebenarnya menyatakan sampai apabila al-Qur’an dibaca hadapan mayyit termasuk membaca disamping qubur, Banyak komentar dan anjuran ulama Syafi’iyyah tentang membaca al-Qur’an di quburan untuk mayyit, sebagaimana yang sebagiannya telah disebutkan termasuk oleh al-Imam Syafi’i sendiri.


Adapun berikut diantara komentar lainnya, yang juga berasal dari ulama Syafi’iyyah diantara lain:

al-Imam Ar-Rafi’i didalam Fathul ‘Aziz bisyarhi al-Wajiz [5/249]
والسنة ان يقول الزائر سلام عليكم دار قوم مؤمنين وانا ان شاء الله عن قريب بكم لاحقون اللهم لا تحرمنا أجرهم ولا تفتنا بعدهم وينبغي أن يدنو الزائر من القبر المزور بقدر ما يدنو من صاحبه لو كان حيا وزاره وسئل القاضى أبو الطيب عن ختم القرآن في المقابر فقال الثواب للقارئ ويكون الميت كالحاضرين يرجى له الرحمة والبركة فيستحب قراءة القرآن في المقابر لهذا المعني وأيضا فالدعاء عقيب القراءة أقرب الي الاجابة والدعاء ينفع الميت


“dan sunnah agar peziarah mengucapkan : “Salamun ‘Alaykum dara qaumi Mukminiin wa Innaa InsyaAllahu ‘an qariibi bikum laa hiquun Allahumma laa tahrimnaa ajrahum wa laa taftinnaa ba’dahum”, dan sepatutnya zair (peziarah) mendekat ke kubur yang diziarahi seperti dekat kepada sahabatnya ketika masih hidup ketika mengunjunginya, al-Qadli Abu ath-Thayyib ditanya tentang mengkhatamkan al-Qur’an dipekuburan maka beliau menjawab ; ada pahala bagi pembacanya, sedangkan mayyit seperti orang yang hadir yang diharapkan mendapatkan rahmat dan berkah baginya, Maka disunnahkan membaca al-Qur’an di pequburan berdasarkan pengertian ini (yaitu mayyit bisa mendapatkan rahmat dan berkah dari pembacaan al-Qur’an) dan juga berdo’a mengiringi bacaan al-Qur’an niscaya lebih dekat untuk diterima sebab do’a bermanfaat bagi mayyit”.

Al-Imam Ar-Ramli didalam Nihayatul Muhtaj ilaa syarhi al-Minhaj [3/36] :

ويقرأ ويدعو) عقب قراءته، والدعاء ينفع الميت وهو عقب القراءة أقرب للإجابة


“dan (disunnahkan ketika ziarah) membaca al-Qur’an dan berdo’a mengiri pembacaan al-Qur’an, sedangkan do’a bermanfaat bagi mayyit, dan do’a mengiringi bacaan al-Qur’an lebih dekat di ijabah”

Al-‘Allamah Syaikh Zainuddin bin ‘Abdil ‘Aziz al-Malibari didalam Fathul Mu’in [hal. 229] :

ويسن كما نص عليه أن يقرأ من القرآن ما تيسر على القبر فيدعو له مستقبلا للقبلة
“disunnahkan –sebagaimana nas (hadits) yang menerangkan tentang hal itu- agar membaca apa yang dirasa mudah dari al-Qur’an diatas qubur, kemudian berdo’a untuk mayyit menghadap ke qiblat”

Imam Ahmad Salamah al-Qalyubiy didalam Hasyiyatani Qalyubi wa ‘Umairah pada pembahasan terkait ziarah qubur :

قوله: (ويقرأ) أي شيئا من القرآن ويهدي ثوابه للميت وحده أو مع أهل الجبانة، ومما ورد عن السلف أنه من قرأ سورة الإخلاص إحدى عشرة مرة، وأهدى ثوابها إلى الجبانة غفر له ذنوب بعدد الموتى فيها


“frasa (dan –disunnahkan- membaca al-Qur’an) yakni sesuatu yang mudah dari al-Qur’an, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada satu mayyit atau bersamaan ahl qubur lainnya, dan diantara yang telah warid dari salafush shalih adalah bahwa barangsiapa yang membaca surah al-Ikhlas 11 kali, dan menghadiahkan pahalanya kepada ahl qubur maka diampuni dosanya sebanyak orang yang mati dipekuburan itu”.

Syaikh Mushthafa al-Buhgha dan Syaikh Mushthafaa al-Khin didalam al-Fiqhul Manhaji ‘alaa Madzhab al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah [juz I, hal. 184] :


من آداب زيارة القبور: إذا دخل الزائر المقبرة، ندب له أن يسلم على الموتى قائلاً: ” السلام عليكم دار قوم مؤمنين، وإنا إن شاء الله بكم لاحقون. وليقرأ عندهم ما تيسر من القرآن، فإن الرحمة تنزل حيث يُقرأ القرآن،ثم ليدع لهم عقب القراءة، وليهدِ مثل ثواب تلاوته لأرواحهم، فإن الدعاء مرجو الإِجابة، وإذا استجيب الدعاء استفاد الميت من ثواب القراءة. والله اعلم.


“Diantara adab ziarah qubur : apabila seorang peziarah masuk area pekuburan, disunnahkan baginya mengucapkan salam kepada orang yang mati dengan ucapan : Assalamu ‘alaykum dara qaumin mukminiin wa innaa InsyaAllahu bikum laa hiquun”, kemudian disunnahkan supaya membaca apa yang mudah dari al-Qur’an disisi qubur mereka, sebab sesungguhnya rahmat akan diturunkan ketika dibacakan al-Qur’an, kemudian disunnahkan supaya mendo’akan mereka mengiringi bacaan al-Qur’an, dan menghadiahkan pahala tilawahnya untuk arwah mereka, sebab sesungguhnya do’a diharapkan di ijabah, apabila do’a dikabulkan maka pahala bacaan al-Qur’an akan memberikan manfaat kepada mayyit , wallahu ‘alam.”

Hujjatul Islam Imam al-Ghazali didalam kitab monumentalnya yaitu Ihyaa’ ‘Ulumuddin [4/492] :
ولا بأس بقراءة القرآن على القبور

“tidak apa-apa dengan membaca al-Qur’an diatas qubur”

  • Imam Nawawi dalam Syarah Nawawi ala Shahih Muslim Juz 1 hal 90 menjelaskan:

    ﻧﻴﻤﻠﺴﻤﻼ ﻧﻴﺐ ﻓﻠﺦ ﻟﺐ ﺍﻫﺐ ﻋﻔﺘﻨﻴﻮ

    ﺗﻴﻤﻼ ﻯﻼ ﻟﺼﺖ ﺓﻗﺪﺻﻼ ﻧﺎﻑ ﺍﻣﻬﻨﻊ

    ﻗﺪﺻﺘﻴﻠﻒ ﻫﻴﺪﻻﻭ ﺭﺏ ﺩﺍﺭﺃ ﻧﻤﻬﻴﻘﻔﻼ

    ﻯﺮﺻﺒﻼ ﻯﺪﺭﻭﺍﻣﻼ ﻧﺴﺤﻼ ﻭﺑﺄ

    ﺓﺍﺿﻘﻼ ﻯﻀﻘﺄ ﻫﺎﻛﺢ ﺍﻡ ﺍﻣﺄﻭ

    ﺑﺎﻭﺻﻼ ﻭﻩ ﺍﺫﻫﻮﺑﻬﺬﻡ ﻭﻫﻒ ﺑﺎﻭﺙ

    ﻫﺘﻮﻡ ﺩﻋﺐ ﻫﻘﺤﻠﻲ ﻝ ﺗﻴﻤﻼ ﻧﺄ ﻧﻢ

    ﻣﻠﻜﻼ ﺑﺎﺣﺼﺄ ﺿﻌﺐ ﻧﻊ ﻯﻮﺍﺣﻼ

    ﻫﺒﺎﺗﻚ ﻯﻒ ﻯﻌﻔﺎﺷﻼﻫﻴﻠﻊ

    ﺟﻴﺮﻋﺖ ﻟﻮ ﻫﻴﻼ ﺗﺎﻓﺘﻼ ﻟﻒ ﺓﻣﻼ

    ﻋﺎﻣﺠﺎﻭ ﺓﻧﺴﻼﻭ ﺑﺎﺗﻜﻼ ﺻﻮﺻﻨﻞ

    ﻓﻼﺧﻢ ﻧﻴﺐ ﺃﻃﺨﻮ ﺍﻳﻌﻄﻖ ﻟﻄﺎﺑﻨﺎﻙ

    ﺍﺫﺍ ﻻ ﺗﻴﻤﻼ ﻯﻼ ﺍﻫﺒﺎﻭﺙ ﻟﺼﻲ ﻝ

    ﻫﻨﺄ ﺀﺍﻣﻠﻌﻼ ﺭﻳﻬﺎﻣﺠﻮ ﻯﻌﻔﺎﺷﻼ

    ﺑﻬﺬﻣﻒ ﻣﻮﺻﻼﻭﻟﺼﻼ ﺍﻣﺄﻭ

    ﻫﻨﻊ ﺍﻣﻬﺮﻫﺸﺄ ﻯﻌﻔﺎﺷﻠﻞ ﻧﻴﻠﻮﻕ

    ﻫﻴﻒ ﻧﺎﻑ ﻳﻠﻮﻻ ﻫﻞ ﻧﺬﺃ ﻧﻢ ﻭﺃ ﻫﻴﻠﻮ

    ﻫﻨﻊ ﻫﺎﺿﻘﻒ ﺗﻴﻤﻠﻯﻠﻊ ﺍﺑﺠﺎﻭ

    ﻣﻮﺻﻼﻧﺎ ﻣﺎﻳﺼﻼ ﺑﺎﺗﻚ ﻯﻒ

    ﺓﻷﺳﻤﻼ ﻯﺘﺄﺗﺴﻮ ﺣﺼﻲ ﻫﻨﺄ

    ﻫﺒﺎﺣﺼﺄ ﻯﺮﺧﺄﺗﻢ ﻯﻘﻘﺤﻢ ﻣﺚ

    ﺍﻣﻬﺤﺼﺄﻭﺣﻠﺼﻲ ﻝ ﻫﻨﺄﻻﻗﻮ ﺗﻴﻤﻼ

    ﻯﻼ ﺍﻫﺒﺎﻭﺙ ﻟﺼﻲ ﻝ ﻫﻨﺄ

    ﻯﻌﻔﺎﺷﻼ ﺑﻬﺬﻡ ﻧﻢ ﺭﻭﻫﺸﻤﻼﻑ

    ﻧﺂﺭﻗﻼ ﺓﺀﺍﺭﻕ ﺍﻣﺄﻭﻯﻼﻋﺖ ﻟﻼ

    ﺀﺍﺷﻌﻴﻤﺞ ﺑﺎﻭﺙ ﺗﻴﻤﻼ ﻯﻼ ﻟﺼﻲ

    ﻫﻨﺄ ﻯﻼ ﺀﺍﻣﻠﻌﻼ ﻧﻢ ﺗﺎﻋﺎﻣﺞ ﺑﻬﺬﻭ

    ﺗﻴﻤﻼ ﻯﻼ ﺍﻫﺒﺎﻭﺙ ﻟﺼﻴﻬﺒﺎﺣﺼﺄ

    ﺿﻌﺒﺮﺫﻥ ﻫﻴﻠﻌﻮ ﺗﺎﻡ ﻧﻢ ﺑﺎﺏ ﻯﻒ

    ﻯﺮﺍﺧﺒﻼ ﺣﻴﺤﺺ ﻯﻔﻮ ﻛﻠﺬ ﺭﻳﻐﻮ

    ﺓﺀﺍﺭﻗﻼﻭ ﻣﻮﺻﻼﻭ ﺓﻟﺼﻼ ﻧﻢ

    ﺗﺎﺩﺍﺑﻌﻼﻧﺐ ﺀﺍﻃﻊ ﻧﻊ ﻯﻮﺍﺣﻼ

    ﺑﺤﺎﺹ ﻯﻜﺤﻮ ﺍﻫﻨﻊ ﻯﻠﺼﺖ ﻧﺄ

    ﺓﻟﺺ ﺍﻫﻴﻠﻌﻮ ﺍﻫﻤﺄ ﺗﺘﺎﻡ ﻧﻢ ﺭﻣﺄ

    ﺭﻣﻊ ﻧﺒﺎ ﻧﺄﻧﺐ ﻟﻼ ﺩﺑﻊ ﺩﻋﺲ ﻭﺑﺄ

    ﺧﻴﺸﻼ ﻻﻗﻮ ﺗﻴﻤﻼ ﻧﻊ ﺓﻟﺼﻼ ﺯﺍﻭﺟﺐ

    ﻻﻕ ﺍﻣﻬﻨﺄ ﻫﻴﻮﻫﺎﺭ ﻧﺐ ﻗﺎﺣﺴﺎﻭ

    ﺣﺎﺑﺮ ﻯﺒﺄﻻﻗﻮ ﺍﺫﻩ ﺭﺍﻳﺘﺨﺎ ﻯﻼ

    ﺭﺍﺻﺘﻨﻼ ﻫﺒﺎﺗﻚ ﻯﻒ ﻧﻴﺮﺧﺄﺗﻤﻼ

    ﺍﻧﺒﺎﺣﺼﺄ ﻧﻢ ﻧﻮﺭﺻﻊ ﻯﺒﺄ ﻧﺐ ﻟﻼ ﺓﺑﻪ

    ﻧﺐ ﺩﻣﺤﻤﻤﺎﻋﻂ ﻧﻢ ﺩﻡ ﺓﻟﺺ ﻟﻚ

    ﻧﻊ ﻣﻌﻄﻲ ﻧﺄ ﺩﻋﺒﻲ ﻝ ﺑﻴﺬﻫﺘﻼ

    ﻫﺒﺎﺗﻚ ﻯﻒ ﺍﻧﺒﺎﺣﺼﺄ ﻧﻢ ﻯﻮﻏﺒﻼ

    ﺩﻣﺤﻢ ﻭﺑﺄ ﻣﺎﻣﻼ

    ﻟﺼﺖ ﺍﻫﻨﺎﻑ ﺟﺤﻼﻭ ﺓﻗﺪﺻﻼﻭ

    ﺀﺍﻋﺪﻻ ﻯﻠﻊ ﺳﺎﻳﻘﻼ ﻣﻬﻠﻴﻠﺪﻭ ﻻﻣﻚ

    ﻫﻨﺬﺇ ﻫﺬﻩ ﻟﻚ


    Berkata Imam Nawawi :

    “Barangsiapa yang ingin berbakti pada ayah ibunya maka ia boleh bersedekah atas nama mereka (kirim amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu sampai pada mayyit dan akan
    membawa manfaat atasnya tanpa ada ikhtilaf diantara muslimin, inilah pendapat terbaik, mengenai apa-apa yang diceritakan pimpinan Qadhiy Abul Hasan Almawardiy Albashriy Alfaqiihi Assyafii
    mengenai ucapan beberapa Ahli Bicara bahwa mayyit setelah wafatnya tak bisa menerima pahala, maka pemahaman ini Batil secara jelas dan kesalahan yg diperbuat oleh mereka yang mengingkari nash-nash dari Alqur’an dan Alhadits dan Ijma ummat ini, maka tak perlu ditolelir dan tak perlu diperdulikan.
    Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka madzhab Syafii dan sebagian ulama mengatakannya tidak sampai kecuali shalat dan puasa yang wajib bagi mayyit, maka boleh di Qadha oleh wali nya atau orang lain yang diizinkan oleh walinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat dalam Madzhab Syafii, yang lebih masyhur hal ini tak sampai, namun pendapat kedua yang lebih shahih mengatakan hal itu sampai, dan akan kuperjelas nanti di Bab Puasa Insya Allah Ta’ala.Mengenai pahala Alqur’an menurut pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafii bahwa tak sampai
    pada mayyit, namun adapula pendapat dari sahabat sahabat Syafii yang mengatakannya sampai, dan sebagian besar ulama mengambil pendapat bahwa sampainya pahala semua macam ibadah, berupa shalat, puasa, bacaan Alqur’an, ibadah dan yang lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam shahih Bukhari pada Bab :
    “Barangsiapa yang wafat dan atasnya nadzar” bahwa Ibn Umar memerintahkan
    seorang wanita yang wafat ibunya yang masih punya hutang shalat agar wanita itu membayar (meng qadha) shalatnya, dan dihikayatkan oleh Penulis kitab Al Hawiy, bahwa Atha bin Abi Ribah
    dan Ishaq bin Rahawayh bahwa mereka berdua mengatakan bolehnya shalat dikirim untuk mayyit, Telah berkata Syeikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi Ishruun dari kalangan kita (maksudnya dari madzhab syafii) yang muta’akhir (dimasa Imam Nawawi)
    dalam kitabnya Al Intishar ilaa Ikhtiyar bahwa hal ini seperti ini. (sebagaimana pembahasan diatas), berkata Imam Abu Muhammad Al Baghawiy dari kalangan kita dalam kitabnya At Tahdzib :
    Tidak jauh bagi mereka untuk memberi satu Mudd untuk membayar satu shalat (shalat mayyit yang tertinggal) dan ini semua izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah Qiyas atas Doa dan sedekah dan haji (sebagaimana riwayat hadist-hadits shahih) bahwa itu semua sampai dengan pendapat yang sepakat para ulama.
    (Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim Juz 1 hal90)
    Dan dijelaskan pula dalam Almughniy


    :ﺛﻠﺜﻮ ﻳﺴﺮﻛﻼ ﺓﻳﺂ ﺍﻭﺅﺭﻗﺎ ﺭﺑﺎﻗﻤﻼ

    ﻣﺘﻠﺨﺪ ﺍﺫﺇ ﻻﻕ ﻫﻨﺄﺩﻣﺤﺄ ﻧﻊ ﻳﻮﺭ ﺩﻗﻮ

    ﺭﺑﻘﻼ ﻣﺚ ﺓﺀﺍﺭﻗﻼﺏ ﺳﺄﺏ ﻟﻮﻣﺚ

    ﺓﺀﺍﺭﻗﻼ ﻻﻕ ﻫﻨﺄ ﻫﻨﻊ

    ﻳﻮﺭﻭ ، ﺭﺑﺎﻗﻤﻼ ﻟﻬﻸ ﻫﻠﻀﻒ ﻧﺈ ﻣﻬﻠﻼ

    ﻻﻕ ﻣﺚ ﺻﻠﺨﻼ ﺩﺣﺄ ﻟﻼ ﻭﻩ ﻟﻖ

    ﺭﺍﺭﻣﻨﻊ ﻫﺐ ﻧﺎﺑﺄ ﺍﻋﻮﺟﺮ ﻋﺠﺮ ﻣﺚ

    ﺓﻋﺎﻣﺞ ﺩﻣﺤﺄ ﻧﻊ ﻛﻠﺬ ﻟﻘﻦ ﺭﻛﺐ ﻭﺑﺄ

    ﻻﻕ ﻣﻴﺸﻪ ﻧﻊ ﻛﻠﺬ ﻳﻮﺭﻭ ﺓﻋﺪﺏ

    ﺭﺑﻘﻼﻫﻞ ﻻﻗﻒ ﺓﻋﺪﺏ ﺭﺑﻘﻼ ﻣﺚ

    ﺓﺀﺍﺭﻗﻼ ﻧﺈ ﻫﻞ ﻻﻗﻮ ﺭﺑﻘﻼ ﻣﺚ

    ﺃﺭﻗﻲ ﻧﺄ ﺍﺭﻳﺮﺽ ﻯﻬﻦ ﺩﻣﺤﺄ ﻧﺄ

    ﺓﻋﺎﻣﺞ ﻯﻮﺭﻑ ﻫﺴﻔﻨﻬﻴﺒﺄ ﻧﻊ ﺭﺷﺒﻢ

    ﻳﻨﺮﺑﺨﺄﻑ ﻻﻕ ﺓﻗﺚ ﻻﻕ ﺍﺫﻫﻠﻒ

    ﺭﺷﺒﻢ ﻳﻒ ﻟﻮﻗﺖ ﺍﻡ ﻟﻼ ﺩﺑﻊ ﺍﺑﺄ ﺍﻱ

    ﻳﺮﻫﻮﺟﻼ ﺓﻣﺎﺩﻕ ﻧﺐ ﺩﻣﺤﻤﺪﻣﺤﺄ

    ﻻﻕ ﻛﻠﺬﺏ ﻳﺼﻮﻱ ﺭﻣﻊ ﻧﺒﺎ ﺗﻌﻤﺲ

    ﻻﻗﻮ ﺍﻫﺘﻤﺘﺎﺧﻮ ﺓﺭﻗﺒﻼ ﺓﺣﺘﺎﻓﺐ

    ﻫﺪﻧﻊ ﺃﺭﻗﻲ ﻧﻔﺪ ﺍﺫﺇ ﻯﺼﻮﺃ ﻫﻨﺄﺭﻗﻲ

    ﻟﺠﺮﻟﻞ ﻟﻘﻒ ﻋﺠﺮﺍﻑ ﻟﺒﻨﺢ ﻧﺐ


    “Tidak ada larangannya
    membaca Alqur’an dikuburan , dan telah
    diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah ayat Alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalu katakanlah: "Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur”.
    Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin Hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah :
    Wahai AbuAbdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits),
    Imam Ahmad
    menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya),
    maka berkata Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku
    dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat Baqarah dan
    penutupnya, dan bahwa Ibn Umar berwasiat
    demikian pula!”,
    maka
    berkata Imam Ahmad :”katakan pada orang yang tadi ku larang membaca Alqur’an
    dikuburan agar ia terus membacanya lagi..”.
    (Al Mughniy Juz 2 hal: 225)

    • Dan dikatakan dalam Syarh Al Kanz :

    ﻭﺃ ﺓﻗﺪﺹ ﻭﺃ ﺍﺟﺢ ﻭﺃ ﺍﻣﻮﺹ ﻭﺃ

    ﻧﺎﻙ ﺓﻟﺺ ﻫﺮﻳﻐﻞ ﻫﻠﻤﻊ ﺑﺎﻭﺙ

    ﻟﻌﺠﻲ ﻧﺄ ﻧﺎﺳﻨﻺﻝ ﻧﺈ ﺯﻧﻜﻼ ﺣﺮﺵ

    ﻳﻒ ﻻﻗﻮﺭﻭﻫﺸﻤﻼﻭ ﻯﻬﺘﻨﺎ ﺓﻧﺴﻼ

    ﻟﻬﺄ ﻣﺚ ﻫﻌﻔﻨﻴﻮ ، ﺗﻴﻤﻼ ﻯﻺ ﻛﻠﺬ

    ﻟﺼﻴﻮ ﺭﺑﻼ ﻋﺎﻭﻧﺄ ﻋﻴﻤﺞ ﻧﻢ ﻛﻠﺬ ﻧﺂﺭﻕ

    ﺓﺀﺍﺭﻗﻨﺐ ﺩﻣﺤﺄ ﺑﻬﺬﻭ ﻧﺂﺭﻗﻼ ﺓﺀﺍﺭﻕ

    ﺑﺎﻭﺙ ﺗﻴﻤﻼ ﻯﻺ ﻟﺼﻲ ﻝ ﻫﻨﺄ

    ﻫﺒﺎﺣﺼﺄ ﻧﻢ ﺓﻋﺎﻣﺠﻮ ﻳﻌﻔﺎﺷﻼ ﺑﻬﺬﻡ

    ﻧﻤﺮﺍﻛﺬﻷﺍ ﻳﻒ ﻳﻮﻭﻧﻼ ﻫﺮﻛﺬ ﺍﺫﻙ

    ﻟﺼﻲ ﻫﻨﺄ ﻯﻺ ﻳﻌﻔﺎﺷﻼ ﺑﺎﺣﺼﺄ ﻧﻢ

    ﺓﻋﺎﻣﺠﻮ ﺀﺍﻣﻠﻌﻼ ﻧﻢ ﺓﻋﺎﻣﺠﻮ

    ﻟﺒﻨﺤﺮﺍﺗﺨﻤﻼﻭ ﺭﻭﻫﺸﻤﻼ ﻯﻠﻊ

    ﺓﺀﺍﺭﻗﻼ ﺑﺎﻭﺙ ﺍﻧﺪﻧﻊ ﺗﻴﻤﻼ ﻯﻺ

    ﻟﺼﻲ ﻝ ﻳﻮﺣﻨﻼ ﻧﺒﻞ ﺟﺎﻫﻨﻤﻼ

    ﺣﺮﺵ ﻳﻔﻮﺍﻣﺐ ﺗﻴﻤﻠﻞ ﺀﺍﻋﺪﻻ ﺯﺍﺝ

    ﺍﺫﺇﻑ ﺀﺍﻋﺪ ﻫﻨﻸ ﻫﺐ ﻣﺰﺟﻼ ﻳﻐﺒﻨﻴﻮ

    ﻫﺖﺀﺍﺭﻕ ﺑﺎﻭﺙ ﻻﺻﻴﺈ ﻟﻼ ﻷﺱ ﺍﺫﺇ

    ﻟﻮﺻﻮﻻﻯﻨﻌﻤﻼ ﺍﺫﻫﻮ ﺀﺍﻋﺪﻻ

    ﺓﺑﺎﺟﺘﺴﺎ ﻯﻠﻊ ﺍﻓﻮﻗﻮﻡ ﻫﻴﻒ ﺭﻣﻸﺍ

    ﻯﻘﺒﻴﻮ ﻯﻠﻮﺃ ﻫﻞ ﻭﻩ ﺍﻣﺐ ﺯﻭﺟﻲ

    ﻧﻸﻑ ﻳﻌﺎﺩﻟﻞ ﺳﻴﻠﻴﺤﻼﻭ ﺗﻴﻤﻼ ﻋﻔﻨﻲ

    ﻫﻨﺄ ﻫﻴﻠﻊ ﻗﻔﺘﻢ ﺀﺍﻋﺪﻻ ﻧﺄ ﺭﻫﺎﻇﻼﻭ

    ﻻﻣﻌﻸﺍ ﺭﺋﺎﺱ ﻳﻒ ﻳﺮﺟﻲ ﻟﺐ

    ﺓﺀﺍﺭﻗﻼﺏ ﺻﺘﺨﻲ ﻟﺮﻳﺜﻚ ﺛﻴﺪﺍﺣﺄ ﻛﻠﺬ

    ﻯﻠﻌﻮ ﺍﻫﺮﻳﻐﻮ ﺓﻳﺼﻮﺏ ﺩﻳﻌﺒﻼﻭ

    ﺑﻴﺮﻗﻼ



    “dijelaskan pada syarah Al
    Kanz, Sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala amal kepada orang lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau Bacaan Alqur’an, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan itu boleh untuk mayyit dan itu sudah disepakati dalam Ahlussunnah waljamaah.
    Namun hal yang terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian ulamanya mengatakan pahala
    pembacaan Alqur’an tidak sampai, namun Imam Ahmad bin Hanbal, dan kelompok besar dari para ulama, dan kelompok besar dari ulama syafii mengatakannya pahalanya sampai, demikian dijelaskan
    oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar,
    Dan dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn
    Annahwiy : “tidak sampai pahala bacaan Alqur’an dalam pendapat kami yang masyhur, dan maka sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon penyampaian pahalanya itu, Dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa, karena bila dibolehkan doa
    tuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal
    yang lebih baik, dan ini boleh tuk seluruh amal, dan doa itu sudah Muttafaq alaih (takada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yang hidup,keluarga dekat
    atau yang jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat, dan dalil ini dengan hadits yang sangat banyak”.
    (Naylul Awthar lil Imam Assyaukaniy Juz 4 hal 142, Al majmu’ Syarh Muhadzab lil
    ImamNawawiy Juz 15 hal 522).

    ══════════

    •» Kesimpulannya bahwa hal ini merupakan ikhtilaf ulama, ada yang mengatakan pengiriman
    amal pada mayyit sampai secara keseluruhan, ada yang mengatakan bahwa
    pengiriman bacaan Alqur’an tidak sampai, NAMUN kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah untuk disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi.

    Dan kita semua dalam
    tahlilan itu pastilah ada ucapan :
    Allahumma awshil,tsawabaa maaqaraa’naa minalqur’anilka rim… dst
    (Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa-apa yang kami baca, dari alqur’anulkarim …dst).

    Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan seluruh Imam Ahlussunnah waljamaah tak ada yang mengingkarinya dan tak adapula yang mengatakannya tak sampai-nya bacaan quran & se
    dekah lain kepada mayyit




juga sampai apabila meniatkan pahalanya untuk orang mati yakni pahalanya ditujukan untuk orang mati, dan juga sampai apabila mendo’akan bacaan al-Qur’an yang telah dibaca agar disampaikan kepada orang yang mati. Sekali Lagi Wahabi Sebagai Peta Bi’ah Dunia seharusnya membaca lebih teliti.